Bahaya Lidah

PENJELASAN: besarnya bahaya lidah dan keutamaan diam.
Ketahuilah, bahwa bahaya lidah itu besar. Tiada teriepas daripada baha- yanya, selain dengan diam. Maka karena itulah, Agama memuji diam dan mengajak kepada diam.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda.
من صمت نجا
(Man shamata najaa).
Artinya: "Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)". (1).

Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:
الصمت حكم وقليل فاعله
(Ash-shamtu hukmun wa qaliilun faa'iluh).
Artinya: "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang melaksanakannya (2).
Hukum pada hadits ini, artinya: hikmah dan memikirkan akibat. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Sufyan dari ayahnya, dimana ayahnya berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku tentang Islam, akan sesuatu hal, dimana aku tiada akan bertanya Iagi tentang itu, kepada seseorang, sesudah engkau!".

(1)
Dirawikan At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dengan sanad dla'if.
(2)
Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Ibriu Umar, dengan sanad dla'if.

Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah! Aku beriman dengan Allah. Kemudian engkau berpendirian teguh".

Ayah Abdullah itu meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bertanya: "Apakah yang aku pelihara?". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya". (1).

'Uqbah bin 'Amir berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah jalan kelepasan?".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Tahankan lidahmu! Hendaklah rumahmu memberi kelapangan bagimu dan menangislah atas kesalahanmu!". Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsi- apa menjamin bagiku, apa yang diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang diantara dua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin baginya sorga". (2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya dan laqlaqnya, niscaya ia terjaga dari kejahatan seluruhnya".(3).

Qabqab iaitu perut / Dzabdzab Iaitu Kemaluan / LaqLAq Iaitu Lidah


Hawa-nafsu yang tiga inilah yang membinasakan banyak manusia. Karena itulah, kami menyibukkan diri kami, menyebutkan bahaya lidah sesudah kami selesai daripada menyebutkan bahaya nafsu-syahwat: perut dan kemaluan.

Ditanyakan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . tentang sebab terbesar, yang membawa ma­nusia masuk sorga. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Taqwa kepada Allah dan bagus akhlaq". Dan ditanyakan pula sebab terbesar yang mem­bawa manusia masuk neraka.
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dua rongga badan, yaitu: mulut dan kemaluan" (4).

Maka mungkin yang dimaksud dengan mulut itu, ialah: bahaya lidah. Ka­rena mulut itu tempat lidah. Dan mungkin pula yang dimaksud perut, ka­rena mulut itu, tempat yang tembus dari perut.

Ma'az bin Jabal berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Adakah ki­ta ini disiksa dengan apa yang kita katakan?".Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dipupus kamu oleh ibumu, hai Ibnu Jabal! Adakah manusia meringkuk dalam neraka atas hidungnya, selain oleh yang diketam (diperbuat) lidahnya?" (5).

(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih.
(2)  Dirawikan AJ-Bukhari dari Sahl bin Sa'ad.
(3)  Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Anas dengan sanad dla'if.
(4) Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
(5)  Dirawikan Ibnu Majah dan A1 Hakim.
10

Abdullah Ats-Tsaqafi berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku akan sesuatu, yang akan aku pegang teguh!". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah!: Tuhanku Allah. Kemu­dian, kamu berpendirian teguh (istiqamah)!".

Aku bertanya lagi: "Wahai Rasulu'llah! Apakah yang lebih engkau takuti padaku?".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . lalu mengambil lidahnya, seraya bersabda: "Ini!" (1). Diriwayatkan, bahwa Ma'az bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Amal apakah yang paling utama?".
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mengeluarkan lidahnya. Kemudian meletakkan ja- rinya atas lidah itu" (2).

Anas bin Malik berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tidaklah berdiri teguh (lurus) iman hamba Allah, sebelum berdiri teguh (lurus) hatinya. Dan hatinya itu tidak berdiri teguh (lurus) sebelum berdiri teguh (lurus) lidahnya. Dan tidak akan masuk sorga seseorang, dimana tetangganya ti­dak merasa aman dari kejahatannya". (3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
(Man sarra-hu an yaslama fal-yalzamish-shamta).
من سره أن يسلم فليلزم الصمت
Artinya: "Barangsiapa suka selamat, maka hendaklah ia membiasakan di­am" (4).

Dari Sa'al bin Jubair (hadits marfu') yang diteruskan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . (5), bahwa beliau bersabda: "Apabila anak Adam (manusia) itu berpagi hari, niscaya semua anggota badannya memperingatkan lidah. Arti­nya: anggota badan itu berkata: "Takutilah Allah mengenal kami. Karena jikalau engkau berdiri lurus, niscaya kami pun dapat berdiri lurus. Dan ji kalau engkau bengkok (menyeleweng), niscaya kami pun menjadi beng- kok". (6).

Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Al-Khattab r.a. melihat Abubakar Ash- Shiddiq r.a., menarik lidahnya dengan tangannya. Lalu 'Umar bertanya kepada-Abubakar: "Wahai Khalifah Rasulu'llah! Apakah yang anda per- buat?".Abubakar Ash-Shiddiq r.a. menjawab: "Ini mendatangkan kepadaku jalan yang kebinasaan.


(1)   Dirawikan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih,
(2)  Dirawikan Ath-Thabrani dan Ibnu Abid-Dun-ya.
(3)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan sanad lemah.
(4)  Dirawikan Al-Baihaqi dari Anas dengan sanad dla if.
(5)  Hadits Marfu', yaitu: hadits yang sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., teta- pi disampaikan juga, sedang di antara perawi yang terang namanya dan nabi صلى الله عليه وسلم . ada perawi-perawi yang tidak diketahui atau dilampaui.
(6)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Sa'id Al-Khudri.
11


Sesungguhnya Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
ليس شيء من الجسد إلا يشكو إلى الله عز وجل اللسان على حدته
(Laisa syai-un minal-jasadi illaa yasykuu ilal-laahil-lisaana 'alaa hiddatih).
 Artinya: "Tiada suatu pun dari tubuh, yang tiada mengadu kepada Allah tentang lidah diatas ketajamannya" (1).

Dari Ibnu Mas'ud diriwayatkan, bahwa ia berada atas bukit Shafa, membaca talbiah (2), seraya mengatakan: "Hai lidah! Katakanlah yang baik, niscaya engkau beruntung! Diamlah dari yang jahat, niscaya engkau sela- mat, sebelum engkau menyesal!".

Lalu orang bertanya kepada Ibnu Mas'ud tadi: "Hai ayah Abdurrahman! Adakah ini engkau katakan sendiri atau engkau dengar dari orang lain?".
Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak! Tetapi aku dengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Bahwa kebanyakan dosa anak Adam itu, pada lidahnya". (3). Ibnu 'Umar berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa mencegah lidanya daripada memperkatakan kehormatan orang, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (hal-hal yang memalukan kalau diketahui orang lain). Barangsiapa menguasai kemarahannya, niscaya ia dipelihara oleh Allah akan azabnya. Dan barangsiapa meminta kelonggaran pada Allah? niscaya diterima oleh Allah kelonggarannya". (4).


Diriwayatkan, bahwa Ma'az bin Jabal berkata: "Wahai Rasulu'llah! Beri kanlah kepadaku kata-kata wasiat!".

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Sembahlah (beribadahlah) akan Allah, se akan-akan engkau melihatNya! Dan hitunglah dirimu dalam golongan orang yang sudah mati! Jikalau engkau mau, akan kuberi-tahukan kepada- mu, sesuatu yang lebih kamu miliki dari ini semua". Seraya Nabi صلى الله عليه وسلم . menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya".

Dari Shafwan bin Salim, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apakah tidak aku kabarkan kepadamu, ibadah yang paling mudah dan paling ringan kepada badan? Yaitu: diam dan bagus akhlak". Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت
(Man kaana yu'minu biHaahi wal-yau-mil-aakhiri fal-yaqul khairan au li- yaskut).

(1)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, Abu Yu'Ia dan Iain-Iain dari Aslam, bekas budak Umar r.a.
(2)  Membaca: "Labbaika Allaahumma labbaik" pada waktu hajji.
(3)  Dirawikan Ath-Thabrani, Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi dengan sanad baik.
(4) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan sanad baik.
12

Artinya: Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam". (1).

Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Disebutkan kepada kami, bahwa Rasulu'­llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Diberi rahmat oleh Allah kepada seorang hamba, yang berkata-kata, lalu memperoleh faedah. Atau diam, maka ia selamat" (2).

Ada orang yang meminta kepada Isa a.s. dengan katanya: "Tunjukilah kami suatu amalan, yang membawa kami masuk sorga!". Lalu nabi Isa a.s. menjawab: "Jangan kamu bertutur-kata selama-lamaya!". Maka mereka menjawab: "Kami tidak sanggup demikian". Lalu nabi Isa a.s. berkata: "Jangan kamu bertutur-kata, selain yang keba­jikan". Nabi Sulaiman bin Daud a.s. bersabda: "Kalau berkata itu perak, maka diam itu emas".

Dari Al-Barra' bin 'Azib, yang mengatakan: "Seorang Arab desa datang pada Nabi صلى الله عليه وسلم ., lalu berkata: "Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, yang membawa aku masuk sorga!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab:
أطعم الجائع واسق الظمآن وأمر بالمعروف وانه عن المنكر فإن لم تطق فكف لسانك إلا من خير
(Ath'imil-jaa-i'a wasqidh-dham 'aana wa'mur bil-maruufi wanha 'anil-munkari fa in lam tuthiq fa-kuffa lisaanaka illaa min khair). Artinya: "Berilah makan orang yang lapar dan berilah minum orang yang haus! Suruhlah yang baik (amar ma'ruf) dan laranglah yang munkar (nahi munkar)! Jikalau engkau tidak sanggup, maka cegahlah lidahmu, selain yang kebajikan!" (3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Simpanlah lidahmu, selain pada yang kebajikan! Karena dengan demikian, engkau dapat mengalahkan setan". (4). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya Allah pada lidah setiap orang yang berkata. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah, manusia yang mengetahui apa yang dikatakannya!".

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apabila kamu melihat orang mu'min itu pendiam dan mempunyai kehormatan diri, maka dekatilah dia! Karena ia akan mengajarkan ilmu-hikmah". (5).


(1)   1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(2)  2.Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi dari Anas, dengan sanad dla'if.
(3)  3.Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan isnad baik.
(4)  4.Dirawikan Ibnu Hibban dari- Abi Dzar.
(5)  5.Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Khallad.
13

Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
"Manusia itu tiga macam: yang mendapat pahala, yang selamat dari dosa yang binasa.
Yang mendapat pahala, ialah yang mengingati Allah (berzikir akan Allah).
Yangselamat dari dosa, ialah yang diam.
Dan yang binasa, ialah yang masuk da­lam perbuatan batil". (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya lidah orang mu'min itu dibelakang hatinya. Apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu, niscaya dipahami nya dengan hatinya.Kemudian, dilalukannya dengan lidahnya. Dan lidah orang munafiq itu, dihadapan hatinya. Apabila ia bercita-cita akan sesuatu, niscaya dilalukan­nya dengan lidahnya dan tidak dipahaminya dengan hatinya" Dirawikan Al-Kharaithi dari Al-Hasan Al-Bashari.).

Nabi Isa a.s. bersabda: "Ibadah itu sepuluh bahagian. Sembilan bahagian daripadanya pada diam. Dan sebahagian lagi pada lari dari manusia".

Nabi kita صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak terperosoknya. Barangsiapa banyak terperosoknya, niscaya banyak dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya, niscaya neraka lebih utama baginya" (3).

Dari atsar (ucapan para sahabat), diantaranya, ialah: Abubakar Siddiq r.a. meletakkan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah dirinya dari berkata-kata. Ia menunjukkan kepada lidahnya dan berkata: "Inilah yang mendatangkan kepadaku hal-hal kebinasaan".

Abdullah bin Mas'ud berkata: "Demi Allah, yang tiada disembah, selain DIA. Tiadalah sesuatu yang lebih memerlukan kepada lamanya ditahan, selain lidah".

Ibnu Thaus berkata: "Lidahku itu binatang buas. Jikalau aku lepaskan, niscaya ia makan aku".
Wahab bin Munabbih .berkata tentang' hikmah keluarga Daud a.s., bawa menjadi hak kewajiban orang yang berakal, mengetahui keadaan zaman- nya, menjaga lidahnya dan menghadapi dengan baik persoalannya". Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Tiada memahami agamanya yang tiada menjaga lidahnya".

Al-Auza'i berkata: "Khalifah Umar bin Abdul-aziz r.a. menulis surat ke­pada kami, yang bunyinya sebagai berikut:-

"Adapun kemudian, sesungguhnya orang yang banyak mengingati mati, niscaya rela dengan mendapat sedikit dari dunia. Dan orang yang menghitung perkataannya dari perbuatannya, niscaya sedikitlah perkataannya, kecuali pada yang diperlukannya".

Setengah mereka berkata: "Diam itu mengumpulkan dua kelebihan bagi seseorang: selamat pada agamanya dan memahami tentang temannya". Muhammad bin Wasi' berkata kepada Malik bin Dinar: "Hai Abu Yahya! Menjaga lidah itu lebih sukar bagi manusia, daripada menjaga dinar dan dirham (harta)".
Yunus bin 'Ubaid berkata: "Tiada seseorang manusia yang lidahnya diatas yang baik, melainkan aku melihat kebaikan itu pada amalannya yang lain".


(1)  1.Dirawikan Ath-Thabrani dan Abu Yu'la dari Abi Sa'id Al-Khudri.
(2)  2.Dirawikan Al-Kharaithi dari Al-Hasan Al-Bashari.
(3)  3.Dirawikan Abu Na'im dari Ibnu 'Umar dengan sanad dla'if.
14

Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Suatu kaum (golongan) berkata-kata disamping Mu'awiah bin Abi Sufyan. Dan Al-Ahnaf bin Qais itu diam. Lalu Mu'awiah bertanya kepada Ai-Ahnaf: "Bagaimana engkau, hai Aba Bahr, tiada berkata-kata?". Lalu Al-Ahnaf menjawab: "Aku takut kepada Allah, jikalau aku bohong dan aku takut kepada engkau, jikalau aku benar".

Abubakar bin 'Ayyasy berkata: "Berkumpullah empat orang raja, yaitu: raja India, raja Cina raja Parsia (Kisra) dan raja Rum (Kaiser). Salah se­orang mereka berkata: "Aku menyesal terhadap apa yang sudah aku kata- kan dan tidak menyesal terhadap apa yang tidak aku katakan". Yang lain berkata pula: "Aku apabila berkata-kata dengan suatu perkataan, maka perkataan itu menguasai aku dan aku tiada menguasainya. Dan apabila aku tiada berkata-kata dengan perkataan itu, maka aku menguasainya dan ia tiada menguasai aku". Yang ketiga berkata: "Aku heran terhadap orang yang berbicara, jikalau perkataannya itu kembali kepadanya, nisca­ya mendatangkan kemelaratan baginya. Dan jikalau tidak kembali, nisca­ya tiada bermanfaat baginya". Raja yang keempat berkata. "Aku lebih sanggup menolak apa yang tidak aku katakan, daripada menolak apa yang aku katakan".

Ada yang mengatakan, bahwa Al-Mansur bin Al-Mu'taz tinggal, tidak berkata-kata dengan sepatah katapun sesudah shalat 'lsya, selama empat- puluh tahun. Ada yang mengatakan, bahwa Ar-Rabi' bin Khaisan tidak berkata-kata dengan perkataan dunia, selama duapuluh tahun. Apabila pagi hari, ia meletakkan tinta, kertas dan pena, lalu semua yang diucap- kannya ditulisnya. Kemudian, ia memperhitungkan dirinya pada sore hari. Kalau anda bertanya: kelebihan besar ini bagi diam, apa sebabnya? Maka ketahuilah, bahwa sebabnya adalah banyaknya bahaya lidah, dari kesalah- an, bohong, mengupat, lalat merah, ria, nifaq (sifat bermua dua), perka­taan keji, perbantahan, membersihkan diri, terjun dalam perbuatan batil , permusuhan, perbuatan yang sia-sia, menyeleweng, menambahkan, mengurangi, menyakiti orang lain dan merusak kehormatan orang (mem- buka hal-hal yang seharusnya ditutup).

Inilah bahaya yang banyak. Dan yang menghalau kepada lidah, yang tidak berat bagi lidah. Mempunyai keenakati pada hati. Ada penggerak-penggerak dari sifat (tabi'at) manusia dan dari setan. Orang yang terjun pada hal-hal diatas, sedikitlah yang sanggup menahan lidahnya. Lalu dilepaskannya menurut yang disukainya dan ditahannya dari yang tiada disukainya- Yang demikian itu termasuk pengetahuan yang sulit, sebagaimana akan datang uraiannya.

Terjun dalam hal-hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang terkan-
15

Terjun dalam hal-hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang terkandung dalam diam itu, yaitu: terkumpulnya cita-cita, tetapnya kehormatan diri, penggunaan waktu untuk berfikir, untuk berzikir dan untuk beribadah, selamat dari mengikutkan kata kata pada urusan duniawi dan dari hi- tungannya (hisabnya) dihari akhirat. Allah Ta'ala berfirman:-
(Maa jalfidlu min qaulin illaa ladai-hi raqiibun 'a-tiid). Artinya: "Tiada suatu perkataan yang diucapkan - manusia - malainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)". S. Qaf, ayat 18. Ada suatu hal yang menunjukkan kepada engkau atas utamanya selalu di­am, yaitu: bahwa perkataan itu empat bahagian:-

1.  Melarat semata-mata.
2.  Manfa'at semata-mata.
3.  Ada padanya melarat dan manfa'at.
4.  Tidak ada padanya melarat dan manfa'at.

Adapun yang melarat semata-mata, maka haruslah diam daripadanya. Be- gitu pula yang padanya melarat. Dan manfa'at itu tidak sempurna dengan a- danya melarat. Adapun yang tak ada padanya manfa'at dan melarat, maka itu hal yang sia-sia. Berbuat dengan hal yang sia-sia itu membuang-buang waktu. Dan itu adalah kerugian yang sebenarnya. Maka tinggal lagi baha­gian keempat. Berguguranlah tiga-perempat perkataan dan tinggallah seperempat. Dan yang seperempat ini ada pula bahayanya. Karena bercampur dengan perkataan, yang ada padanya dosa, yaitu: ria yang sangat halus, ber- buat-buat perkataan, mengupat, membersihkan diri dari perkataan sia-sia, suatu percampuran yang sukar diketahui. Maka manusia berada dalam ke- adaan bahaya.

Barang siapa mengetahui bahaya lidah yang halus-halus, sebagaimana yang akan kami sebutkan niscaya pasti ia mengetahui, bahwa apa yang disebutkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . adalah uraian ucapan, dimana beliau bersabda:-
من صمت نجا
(Man shamata najaa).
Artinya: "Barangsiapa diam, niscaya ia teriepas dari bahaya". (1) Sesungguhnya, demi Allah, sudah pasti dianugerahkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . mutiara hikmah dan kata-kata yang menghimpunkan segala maksud. Dan ti­ada yang mengetahui pengertian-pengertian yang melaut Iuasnya yang terkandung dibawah satu-satu kalimat-ucapannya, selain ulama-ulama tertentu. Apa yang akan kami sebutkan nanti tentang bahaya-bahaya dan kesulitan
(1) Hadits ini .sudah diterangkan dulu.
16
menjaganya, akan memperkenalkan kepada anda hakikatnya itu, insya Al­lah Ta'ala. Dan kami sekarang akan menghitung bahaya-bahaya lidah. Akan kami mulai dengan yang seringan-ringannya dan akan kami mendaki kepada yang sedikit lebih berat. Dan akan kami akhiri memperkatakan tentang mengupat, lalat merah dan dusta. Karena amat panjang untuk meninjau pada hal-hal tersebut. Yaitu: duapuluh bahaya. Maka ketahuilah yang de­mikian, niscaya anda akan memperoleh petunjuk dengan pertolongan Allah Ta'ala.

BAHAYA PERTAMA: perkataan pada yang tidak memerlukan. Ketahuilah, bahwa keadaan anda yang paling baik, ialah bahwa anda memelihara kata-kata anda dari semua bahaya yang sudah kami sebutkan da hulu, yaitu dari mengupat, lalat-merah, bohong, berbantah, bertengkar dan lain-lain sebagainya. Dan anda berkata-kata mengenai yang mubah (yang diperbolehkan), yang tidak ada sekali-kali mendatangkan melarat atas anda dan atas orang muslim. Kecuali anda berkata-kata dengan apa yang tidak an­da perlukan. Dan tak ada hajat keperluan padanya. Maka anda sudah menyia-nyiakan waktu anda. Dan mengadakan perhitungan (hisab) terhadap perbuatan lidah anda. Dan anda menggantikan sesuatu yang kurang baik, dengan yang baik. Karena jikalau anda alihkan masa berkata-kata itu ke­pada berfikir, niscaya kadang-kadang akan membukakan bagi anda pemberian rahmat Allah ketika berfikir yang besar faedahnya. Jikalau anda membaca tahlil (mengucapkan "Laa ilaaha i'llallaah), berzikir dan meng- ucapkan tasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, niscaya adalah lebih baik bagi anda. Berapa banyak kalimat yang dapat dibangun istana dalam sorga. Siapa yang sanggup mengambil satu dari gudang-gudang, lalu diambilnya tempat itu menjadi tempat tanah, yang tidak dimanfa'atkannya, niscaya ia merugi, kerugian yang nyata.

Inilah contoh orang yang meninggalkan zikir kepada Allah Ta'ala dan berbuat dengan perbuatan yang diperbolehkan, yang tidak diperlukannya. Ka­rena walaupun ia tidak berdosa, tetapi ia merugi, dimana telah lenyap keuntungan besar dengan berzikir kepada Allah Ta'ala. "Sesungguhnya orang mu'min itu, diamnya adalah berpikir, pandangannya, adalah ibarat dan tutur-katanya adalah zikir", begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم . ber­sabda (1).

(1) Menurut Al-Iraqi, ia tidak pernah menjumpai hadits ini
17

Bahkan modal seorang hamba Allah itu, ialah: waktunya. Manakala diarahkannya waktunya itu kepada yang tidak diperlukannya dan tidak disimpan- nya untuk pahala diakhirat, maka sesungguhnya ia sudah menyia-nyiakan modalnya. Karena inilah,

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda.-
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
(Min husni islaamil-mar-i tarkuhu maa Iaa ya'niih).
Artinya: "Diantara bagusnya Islam manusia itu, ialah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya". (1).

Bahkan tersebut pada hadits yang lebih berat dari yang tadi, dimana Anas berkata: "Seorang anak-anak dari kami (golongan Anshar) telah shahid pa­da hari perang Uhud. Lalu kami dapati diatas perutnya batu terikat, lantaran lapar. Maka ibunya menyapu tanah dari mukanya, seraya berkata: "Se­lamat, sorga bagimu wahai anakku!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dimana engkau tahu?. Mungkin ia berkata-kata yang tak diperlukan dan ia tidak ber­kata-kata, apa yang tidak mendatangkan melarat baginya". (2).

Pada hadits lain tersebut: "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . kehilangan Ka'ab bin 'Ajrah. Lalu beliau tanyakan dimana Ka'ab sekarang. Mereka menjawab: "Ia sakit". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . keluar berjalan, sehingga sampai kepada Ka'ab. Sewaktu Nabi صلى الله عليه وسلم . masuk ketempat Ka'ab, lalu beliau bersabda: "Gembiralah, hai Ka'ab!". Maka sahut ibu Ka'ab: "Selamat, bagimu sorga, hai Ka'ab!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya: "Siapakah wanita yang bersumpah ini terhadap Allah?". Ka'ab menjawab: "Ibuku, wahai Rasulu'llah!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menyambung: "Apakah yang memberitahukan kepada engkau, wahai Ibu Ka'ab?. Mungkin Ka'ab berkata perkataan yang tidak diperlukan atau tidak berkata yang diperlukan". (3).

Artinya: sesungguhnya sorga itu disediakan bagi orang yang tidak kena hi­sab (hitungan amal pada hari akhirat). Orang yang berkata-kata, mengenai yang tidak diperlukan, niscaya ia kena hisab amal, walaupun perkataannya pada yang diperbolehkan (mubah). Maka tidak disediakan sorga serta adanya perdebatan pada hisab itu. Sesungguhnya itu adalah semacam azab. Dari Muhammad bin Ka'ab, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersab­da: "Sesungguhnya orang pertama yang masuk dari pintu ini, ialah seorang laki-laki dari penduduk sorga". (4). Maka masuklah Abdullah bin Salam. Lalu bangunlah beberapa orang sahabat Rasulu'llah menyambutnya, seraya mereka menerangkan kepadanya demikian. Mereka berkata kepada Abdul­lah bin Salam: "Terangkanlah kepada kami, amal yang terpercaya pada dirimu, yang engkau harapkan!". Maka Abdullah bin Salam menjawab: "Sesunguhnya aku ini orang yang lemah. Dan amal yang terpercaya, yang aku harapkan pada Allah, ialah: selamat dada(iman)dan meninggalkan apa yang tidak penting (perlu) bagiku."


(1)  Diriwayatkan Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
(2)  Dirawikan At- Tirmizi dari Anas, secara singkat.
(3)  Diriwayatkan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ka'ab bin 'Ajrah dengan inad bagus.
(4)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan ini hadits mursal.
18

Abu Dzar berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepadaku: "Apakah aku tidak memberitahukan kepadamu. amal yang ringan pada badan dan berat pada timbangan?". Lalu aku menjawab: Belum, wahai Rasulu'llah!". Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Yaitu: diam, bagus akhlak dan meninggalkan apa yang tidak penting bagimu"(l).

Mujahid berkata: "Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: "Ada lima hal, yang lebih aku sukai, melebihi dari kuda yang sudah disiapkan untuk di dikenderai, yaituPertama jangan engkau berkata-kata pada yang tidak penting bagi engkau. Karena itu adalah hal yang berlebihan (tidak penting) dan tidak aman engkau dari dosa dan jangan engkau berkata-kata pada yang ti penting bagi engkau, sebelum engkau mendapat tempat bagi perkataan itu. Karena banyak orang yang berkata-kata tentang sesuatu yang penting ba­ginya, yang diletakkannya pada bukan tempatnya. Lalu ia menghadapi kesulitan.

Kedua: jangan engkau bertengkar dengan orang yang lemah-lembut dan orang yang bodoh. Karena orang yang lemah lembut itu, akan marah kepada engkau dalam hatinya dan orang yang bodoh akan menyakiti engkau dengan lidahnya.

Ketiga: sebutlah temanmu apabila ia jauh dari engkau, dengan perkataan yang engkau sukai, ia menyebut engkau. Dan ma'afkanlah dia dari apa yang engkau sukai ia mema'afkan engkau.

Keempat: bergaullah dengan teman engkau dengan cara yang engkau sukai ia bergaul dengan engkau.

Kelima: berbuatlah sebagai perbuatan seseorang yang tahu bahwa perbu­atan itu dibalas dengan baik dan disiksa dengan dosa". Orang bertanya kepada Lukmanul-hakim: "Apakah falsafah hidupmu (hik- mahmu)?". Lukmanul-hakim menjawab: "Aku tidak bertanya tentang sesu­atu yang telah memadai bagiku. Dan aku tidak memberatkan diriku akan se­suatu yang tidak penting bagiku".

Muriq Al-'Ajli berkata: "Suatu hal, aku sudah mencarinya semenjak dua- puluh tahun yang lalu, tetapi aku tidak memperolehnya. Dan aku tidak me­ninggalkan mencarinya". Lalu mereka bertanya: "Apakah hal itu?". Maka Muriq menjawab: "Diam daripada yang tidak penting bagiku" Umar r.a. berkata: "Jangan engkau datangi sesuatu yang tidak penting bagi engkau! Asingkanlah diri dari musuh engkau! Awasilah teman engkau dari orang banyak, kecuaii orang yang kepercayaan! Tidak ada orang yang kepercayaan, selain orang yang takut akan Allah Ta'ala. Jangan engkau temani orang zalim, nanti engkau memperoleh pengetahuan dari kezaliman- nya! Jangan engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusya- warahlah tentang urusan engkau dengan mereka yang takut akan Allah Ta'ala".

Batas perkataan tentang yang tidak penting bagi engkau, ialah: bahwa eng­kau berkata-kata dengan perkataan, dimana jikalau engkau diam dari per­kataan itu, niscaya engkau tidak berdosa. Dan tidak mendatangkan melarat bagi engkau dalam hal dan harta apa pun. Umpamanya: engkau duduk ber-

(1)      Diirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, dengan sanad yang terputus (munqathi).
19

sama orang banyak. Lalu engkau sebutkan kepada mereka tentang perja- lanan engkau dan apa yang engkau lihat dalam perjalanan itu, mengenai gunung-gunung, sungai-sungai, kejadian-kejadian yang terjadi atas diri eng­kau, apa yang engkau rasakan baik, dari hal makanan dan pakaian dan apa yang engkau merasa heran tentang kepala-kepala kampung dan peristiwa- peristiwa mereka.

Inilah hal-hal, jikalau engkau diam daripadanya, niscaya engkau tidak berdosa dan tidak melarat, Apabila engkau berusaha sungguh-sungguh, sehingga ceritera engkau itu tidak bercampur dengan tambahan, dengan kekurangan dan dengan pembersihan diri, dimana merasa bangga dengan menyaksikan hal-hal yang besar dan tidak ada pula mencaci seseorang dan mencela sesuatu dari apa yang dijadikan oleh Allah Ta'ala, maka meskipun demikian semuanya, engkau adalah menyia-nyiakan waktu engkau. Semoga engkau selamat dari bahaya-bahaya yang telah kami sebutkan itu! Diantara jumlah bahaya tersebut, bahwa engkau bertanya kepada orang lain tentang yang tidak penting bagi engkau. Maka dengan pertanyaan itu, engkau menyia-nyiakan waktu engkau. Dan engkau bawa pula teman eng­kau itu dengan jawaban tadi, kepada menyia-nyiakan waktunya. Dan ini, apabila hal itu tidak mendatangkan bahaya pada pertanyaan tersebut. Dan kebanyakan pertanyaan, ada bahayanya. Sesungguhnya engkau menanya- kan orang lain tentang ibadahnya-umpamanya-, lalu engkau bertanya: "Adalah engkau berpuasa?". Kalau ia menjawab: "Ada!", maka orang itu menampakkan ibadahnya. Lalu masuklah ria kepadanya. Jikalau tidak ma­suk ria, niscaya ibadahnya jatuh dari pembukuan rahasia. Dan ibadah rahasia itu, melebihi dari ibadah terang (yang diperlihatkan) dengan beberapa tingkat.

Dan kalau ia menjawab: "Tidak!", maka orang itu membohong. Dan kalau ia diam (tidak menjawab), maka ia menghina engkau. Dan engkau merasa sakit dengan demikian. Dan kalau ia mencari helah untuk menolak jawab­an, niscaya ia memerlukan kepada tenaga dan letih. Maka sesungguhnya engkau telah kemukakan kepadanya pertanyaan, adakalanya karena ria atau bohong atau menghina atau untuk memayahkannya pada mencari he­lah untuk menolak. Dan begitu pula pertanyaan engkau pada ibadah- ibadah lainnya.

Demikian juga, pertanyaan engkau dari hal perbuatan ma'siat dan dari tiap-tiap yang disembunyikannya dan ia malu daripadanya. Dan pertanyaan engkau tentang apa yang dibicarakan orang lain, lalu engkau bertanya ke­padanya: "Apa yang anda katakan? Dan pada soal apa anda sekarang?". Begitu pula engkau melihat manusia dijalan, lalu engkau bertanya: "Dari mana?". Kadang-kadang ada sesuatu yang melarangnya untuk disebutkan- nya. Kalau disebutkannya, niscaya ia merasa sakit dan merasa malu. Dan kalau ia tidak menyebut dengan benar, niscaya ia jatuh dalam kedustaan. Dan adalah engkau yang menjadi sebabnya.

Begitu pula, engkau bertanya tentang sesuatu persoalan, yang tidak perlu bagi engkau. Dan yang ditanya itu, kadang-kadang tidak membolehkan bagi dirinya, untuk mengatakan: "Aku tidak tahu!". Lalu ia menjawab tan- pa melihat lebih jauh.

Aku tidak maksudkan dengan kata-kata yang tidak penting itu, segala jenis yang tersebut. Karena perkataan itu berlaku padanya dosa atau melarat. Contoh perkataan yang tidak penting, ialah apa yang dirawikan, bahwa Lukmanulhakim masuk ketempat Nabi Daud a.s. Dan Nabi Daud a.s. itu sedang menjahit baju besinya. Dan Lukmanulhakim belum pernah melihat baju besi sebelum hari itu. Lalu ia amat heran dari apa yang dilihatnya. Ia bermaksud menanyakannya yang demikian. Tetapi dilarang oleh hikmah- nya (kebijaksanaannya). Maka ia menahan dirinya dan tidak ditanyakannya.

Tatkala telah siap, lalu Nabi Daud a.s. berdiri dan memakai baju besi itu. Kemudian ia berkata: "Bagus sekali baju besi ini untuk perang". Maka Lukman menjawab: "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang me- laksanakannya".

Artinya: pengetahuan itu berhasil, tanpa ditanyakan. Lalu tidak memerlukan kepada pertanyaan. Ada yang mengatakan, bahwa Lukman pulang pergi kepada Daud a.s. selama setahun. Ia bermaksud mengetahui yang de­mikian, tanpa bertanya.

Inilah dan contoh-contohnya, dari pertanyaan-pertanyaan, apabila tak ada padanya melarat, tidak merusakkan rahasia yang tertutup, tidak menjeru- muskan kedalam ria dan bohong. Dan itu termasuk apa yang tidak penting. Dan meninggalkannya termasuk kebagusan Islam seseorang. Itulah batasnya!

Adapun sebab yang membangkitkan kepada berkata-kata, ialah: ingin me­ngetahui apa yang tidak perlu kepadanya. Atau berbanyak perkataan, ke­pada jalan berkasih-kasihan. Atau mengisi waktu dengan ceritera-ceritera hal-ihwal yang tidak berfaedah.

Obatnya semua itu, ialah: tahu bahwa mati berada dihadapannya. Ia ber- tanggung jawab dari setiap perkataan yang diucapkannya. Nafasnya itu adalah modalnya. Lidahnya itu jala, yang sanggup untuk menangkap bidadari. Maka menyia-nyiakan yang demikian dan membuang-buang waktu­nya, adalah kerugian yang nyata. Inilah obatnya dari segi pengetahuan!

Adapun dari segi amal, maka ialah: mengasingkan diri atau meletakkan batu-kecil pada mulutnya. Membiasakan dirinya diam dari sebahagian yang penting baginya. Sehingga terbiasalah lidahnya, meninggalkan hal yang tidak penting. Dan mengendalikan lidah dalam hal ini bagi orang yang tidak me­ngasingkan diri, adalah sulit sekali.

21

BAHAYA KEDUA: perkataan yang berlebihan.

Itu juga tercela. Dan ini termasuk iurut campur pada yang tidak penting dan menambah pada yang penting sekedar perlu. Karena orang yang mementingkan sesuatu itu mungkin ia menyebutkannya dengan perkataan pendek. Dan mungkin membesarkannya, merretapkan dan mengulang-ulanginya. Dan manakala tercapai maksudnya dengan sepatahkata, lalu disebutnya dua patah kata. Maka kata kedua itu berlebihan, Artinya: berlebihan dari keperluan.

Itu juga tercela, karena apa yang tersebut dahulu, walaupun tak ada dosa dan melarat padanya. 'Atha' bin Abi Rabah berkata: "Bahwa orang-orang sebelum kamu, tidak suka akan perkataan yang berlebihan. Mereka menghitung kata-kata yang berlebihan, selain Kitab Allah Ta'ala dan Sunnah Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . atau amar ma'ruf atau nahi munkar atau engkau memperkatakan keperluan engkau dalam kehidupan engkau, yang tidak boleh tidak. Adakah engkau membantah, bahwa terhadap diri engkau ada para malaikat yang menjaga, yang menulis amalan, duduk dikanan dan dikiri? Apa saja perkataan yang diucapkan, ada padanya yang mengawas dan yang mencatat. Apakah seseorang engkau tidak malu, apabila disiarkan lembarannya yang di-imla'-kan (didiktekan) oleh permulaan siangnya, adalah kebanyakan pa­danya tiada menyangkut dengan urusan Agama dan dunianya?" Dari sebahagian sahabat, ada yang mengatakan: "Bahwa seseorang yang a kan berkata-kata dengan aku dengan suatu perkataan, dimana jawabannya lebih menyukakan aku, dibandingkan dengan air dingin bagi orang yang haus, maka aku tingalkan jawaban itu. Karena takut jawaban itu perkataan yang berlebihan".

Matraf bin Abdullah berkata: "Hendaklah kebesaran Allah itu agung da­lam hatimu! Maka janganlah engkau menyebutkanNya, pada seumpama perkataan salah seorang kamu untuk anjing dan keledai: "Wahai Allah, Tuhanku! Hinakanlah dia". Dan kata-kata lain yang serupa dengan itu". Ketahuilah, bahwa perkataan yang berlebihan itu tidak terhingga banyaknya. Tetapi yang penting itu, terhingga pada Kitab Allah Ta'ala. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:-Artinya: "Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya rapat-rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, orang-orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusi a".S.An-Nisa ayat 114.

22
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
طوبى لمن أمسك الفضل من لسانه وأنفق الفضل من ماله
(Thuubaa li-man amsakal-fadl-la min lisaanihi wa anfaqal-fadhla min ma - lih).
Artinya: "Berbahagialah orang yang menahan kelebihan dari lidahnya dan membelanjakan kelebihan dari hartanya". (1).

Maka perhatikanlah, bagaimana manusia memutar-balikkan keadaan pada yang demikian. Mereka menahan kelebihan harta dn melepaskan kelebihan lidah. Dari Matraf bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan: "Aku datang pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., yang sedang berada dalam kaum keluarga Bani 'Amir. Lalu mereka itu berkata: "Engkau bapa kami! Engkau penghulu ka­mi!. Engkau mempunyai banyak kelebihan dari kami! Engkau lebih gagahdari kami! Engkau pelupuk mata yang cemerlang! Engkau engkau......!".

Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah perkataanmu! Jangan kamu diumbang-ambingkan oleh setan!' (2).

Hadits ini menunjukkan, bahwa lidah apabila dilepaskan dengan pujian, meskipun benar, maka ditakuti akan diumbang-ambingkan oleh setan, ke­pada kata-kata tambahan yang tidak diperlukan.

Ibnu Mas'ud berkata: "Aku peringatkan kamu akan kelebihan perkataan­mu. Mencukupilah perkataan seseorang manusia, yang menyampaikan akan hajat-keperluannya".

Mujahid berkata: "Bahwa perkataan itu untuk ditulis. Sehingga seorang laki-laki, untuk mendiamkan anaknya, lalu mengatakan: "Aku akan belikan untukmu itu-itu  maka ia akan dituliskan: pembohong".

Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Hai anak Adam! Dibentangkan sebuah lembaran untukmu. Diwakilkan dengan lembaran itu, dua orang malaikat yang mulia, yang akan menuliskan semua amal-perbuatanmu. Maka ber- buatlah apa yang kamu kehendaki! Engkau perbanyakkan atau engkau se- dikitkan!".

Diriwayatkan, bahwa Nabi Sulaiman a.s. mengutus sebahagian jin ifritnya. Dan ia mengutus serombongan manusia yang akan melihat apa yang dikatakan oleh jin ifrit itu. Dan mereka akan menerangkannya kepada Sulai­man a.s. Lalu mereka menerangkan kepada Nabi Sulaiman a.s., bahwa jin ifrit itu melalui sebuah pasar. Lalu ia mengangkat kepalanya kelangit. Ke­mudian, ia melihat kepada manusia banyak dan menggerakkan kepalanya. Maka Sulaiman a.s. bertanya kepada jin ifrit itu tentang yang demikian. Lalu jin itu menjawab: "Aku heran dari hal malaikat diatas kepala manu­sia. Alangkah cepatnya mereka itu menulis. Dan dari mereka yang berada dibawah manusia, alangkah cepatnya mereka itu meimla'kan (mendiktekan)".

(1)  Dirawikan Al-Baihaqi dan lain-lain.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya.
23

Ibrahim At-Taimy berkata: "Apabila orang mukmin itu bermaksud ber- bicara, niscaya ia perhatikan. Kalau ada yang bermanfa'at baginya, maka ia berkata. Kalau tidak, niscaya ia menahan lidahnya dari berkata. Orang za- lim, lidahnya terus-menerus teriepas".

Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak bohongnya. Barangsiapa banyak hartanya, niscaya banyak dosanya. Dan barang siapa buruk akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya".

Amr bin Dinar berkata: "Seorang laki-laki berkata-kata disamping Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu ia membanyakkan perkataannya itu. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya kepadanya: "Berapa adanya dinding yang menghambat lidahmu?". Laki-la­ki itu menjawab: "Dua bibirku dan gigi-gigiku". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menyambung: 'Apakah pada yang demikian, engkau tiada mempunyai sesuatu yang dapat menolak perkataanmu?" (1).

Pada suatu riwayat, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda yang demikian, pada se­orang laki-laki yang memuji-muji Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu perkataannya itu terlalu bersangatan dan panjang. Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiada diberikan kepada seseorang akan kejahatan dari kelebihan pada lidahnya". Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Sesungguhnya mencegah aku dari ba­nyak berkata-kata, karena takut membanggakan diri". Setengah ahli hikmah (hukama') berkata: "Apabila seseorang berada pada suatu mailis, lalu mena'jubkannya oleh pembicaraan, maka hendaklah ia di­am! Dan jikalau ia diam, lalu mena'jubkannya oleh diam, maka hendaklah ia berkata-kata!".

Yazid bin Abi Habib berkata: "Diantara fitnah orang yang berilmu (orang alim), ialah: berkata-kata lebih disukainya daripada mendengar. Kalau tidak diperolehnya orang yang memadai baginya, maka pada mendengar itu sela­mat dan pada berkata-kata itu, penghiasan, penambahan dan pengurangan". Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya yang lebih berhak dibersihkan oleh se­seorang, ialah: lidahnya".

Abud-Darda' melihat seorang wanita tajam lidah. Lalu berkata: "Kalau wa- nita ini bisu, adalah lebih baik baginya".

Ibrahim An-Nakha'i berkata: "Manusia dibinasakan oleh dua sifat: kele­bihan harta dan kelebihan perkataan".

Inilah kecelakaan kelebihan perkataan, banyaknya dan sebabnya yang menggerakkan kepadanya. Dan obatnya, ialah tidak mendahului pada per­kataan, mengenai yang tidak penting!.


(1) Diriwayatkan Ibnu Abid-Dun-ya, hadits mursal. Orang-orangnya kepercayaan.
24

BAHAYA KETIGA: bercakap kosong pada yang batil.
Yaitu: perkataan pada perbuatan ma'siat, seperti: menceriterakan hal-keadaan wanita, hal keadaan tempat minuman khamar, tempat orang-orang fa-
sik, kesenangan orang-orang kaya, keperkasaan raja-raja, tempat-tempat resmi mereka yang tercela dan hal-ihwal mereka yang tidak disukai. Maka semua itu termasuk diantara yang tidak halal bercakap kosong pada­nya. Dan itu: haram.

Adapun berkata-kata pada yang tidak penting atau lebih banyak daripada yang penting, maka itu adalah meninggalkan yang utama. Dan tak'ada ha­ram padanya. Benar, bahwa orang yang banyak berkata-kata pada yang ti­dak penting, niscaya ia tiada akan aman daripada bercakap kosong pada yang batil. Dan kebanyakan manusia itu suka duduk-duduk, untuk berse- nang-senang dengan percakapan. Dan perkataannya tidak melampaui untuk bersedap-sedap memperkatakan kehormatan orang lain atau bercakap ko­song pada yang batil.

Macamnya yang batil itu, tidak mungkin dihinggakan, karena banyaknya dan bermacam-macam.Maka karena itulah, tiada yang melepaskan dari ber macam-macam batil itu, selain dengan menyingkatkan perkataan kepada yang penting dari kepentingan - kepentingan Agama dan dunia. Dalam jenis ini, terjadilah kata-kata yang membinasakan yang punya kata- kata itu, pada hal ia memandang enteng akan kata-kata tersebut, Bilal bin Al-Harts berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang berkata-kata dengan perkataan dari kerelaan Allah, akan apa yang disang- kanya, bahwa perkataan itu akan sampai apa yang sampai, maka Allah me- nulis dengan perkataan itu akan kerelaanNya sampai kepada hari kiamat. Dan sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan dari kema- rahan Allah, akan apa yang disangkanya, bahwa perkataan itu, akan sampai apa yang sampai, maka Allah menuliskan kemarahanNya kepada orang itu sampai hari kiariiat", (1).
'Alqamah berkata: "Berapa banyak perkataan yang melarang aku menga- takannya, oleh hadits Bilal bin Al-Harts diatas ini". Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan yang menertawakan teman-teman duduknya, maka ia akan jatuh dengan perkataan itu, lebih jauh dari bintang Surayya". (2). Abu Hurairah berkata: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan, yang tiada dijumpainya bagi perkataan itu hal yang penting, maka ia akan jatuh dalam neraka jahannam. Dan sesungguhnya, orang yang berkata-kata dengan perkataan, apa yang dijumpainya bagi perkataan itu, hal yang penting, maka ia diangkat oleh Allah kedalam sorga terting-

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Manusia yang terbesar dosanya pada hari kiamat, ia­lah orang yang paling banyak turut campur, dalam hal yang batil". (3). Ke-

(1)  Dirawikan Ibnu Majah dan At-Tirmizi. Hadits ini hasan dan shahih.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dariAbi Hurairah, dengan sanad hasan.
(3) Dirawikan, di antara lam oleh Ath-Thabrani dari Ibni Mas'ud, dengan sanad shahih.
25

pada hadits inilah diisyaratkan dengan finnan Allah Ta'ala:- (Wa kunnaa nakhuudlu ma'al-khaa-i-dliin).
Artinya: "Dan kami bercakap kosong bersama-sama dengan orang-orang yang bercakap kosong". S.Al-Muddatstsir, ayat 45.
Dan dengan firman Allah Ta'ala;-
(Fa laa taq-'uduu ma'ahum hattaa ya-khuudluu fii ha-diitsin ghai-rihi, innakum idzan mits-luhum).
Artinya: "Maka janganlah kamu duduk dekat mereka, kecuali kalau mereka masuk untuk pembicaraan yang lain. Kalau kamu berbuat begitu, tentulah kamu serupa dengan mereka".S.An-Nisa',ayat 140.

Salman Al-Farisi berkata: "Manusia yang terbanyak dosanya pada hari ki­amat, ialah yang terbanyak perkataannya pada perbuatan ma'siat terhadap Allah".

Ibnu Sirin berkata: "Adalah seorang laki-laki dari golongan anshar (pen- duduk Madinah yang membantu Nabi صلى الله عليه وسلم .) melalui suatu majlis orang-o­rang anshar itu. Lalu orang itu berkata kepada mereka: "Berwudlu lah (am- billah air sembahyang)! Karena sebahagian yang kamu katakan itu, lebih jahat dari hadats".

Inilah yang dikatakan bercakap kosong pada yang batil! Yaitu: dibalik apa yang akan diterangkan nanti, tentang: upatan, lalat merah, perkataan keji dan lainnya. Bahkan itu, bercakap kosong, pada menyebutkan hal-hal yang terlarang, yang telah dahulu adariya. Atau berpikir untuk sampai kepada­nya, tanpa ada keperluan keagamaan kepada menyebutkartnya. Dan masuk pula pada yang demikian, bercakap bohong pada ceritera-ceritera bid'ah dan aliran-aliran yang merusak dan ceritera yang terjadi pada pe- perangan antara para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم . dengan cara yang meragukan ca- cian terhadap sebahagian mereka.

Semua itu batil. Dan bercakap kosong padanya, adalah bercakap kosong pa­da yang batil. Kami bermohon pada Allah akan baiknya pertolongan dengan kasih sayang dan kemurahanNya!.

26

BAHAYA KEEMPAT: perbantahan dan pertengkaran. Yang demikian itu terlarang. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-(Laa tumaari akhaaka wa laa tumaazihhu wa laata'id-hu mau'idanfa tukh- lifah).

Artinya: "Jangan kamu berbantah-bantahan dengan saudaramu, jangan ka­mu bersenda-gurau dan menjanjikan dengan dia sesuatu janji, lalu engkau menyalahi janji itu!".(l).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
ذروا المراء فإنه لا تفهم حكمته ولا تؤمن فتنته
(Dza'rul-miraa-a fa innahu laa tufhamu hikmatuhu wa laa tu'ma-nu fitna- tuh).
Artinya: "Tinggalkanlah perbantahan. Karena dengan perbantahan, tiada akan dipahami hikmah dan tidak akan aman dari fitnah". (2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu benar, niscaya dibangun suatu rumah baginya dalam sorga tertinggi. Dan ba­rangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu dalam hal yang batil, nis­caya dibangun baginya suatu rumah ditengah-tengah sorga". (3)

Dari Ummi Salmah r.a., yang mengatakan: "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Bahwa yang pertama-tama diberi-tahukan kepadaku oleh Tuhanku dan dilarang aku daripadanya, sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah: mencaci orang". (4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Tiada sesatlah suatu golongan, sesudah mereka mendapat petunjuk Allah, selain oleh karena mereka suka bertengkar". (5).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Tiada akan sempurna hakikat iman bagi se­seorang hamba, sebelum ia meninggalkan perbantahan, walaupun ia dipihak yang benar". (6).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Barangsiapa ada padanya enam perkara, nis­caya ia sampai pada hakikat iman, yaitu: berpuasa pada musim panas, memukul musuh Allah dengan pedang, menyegerakan shalat pada hari hujan lebat, bersabar diatas semua musibah, meratakan wudlu' diatas semua tem­pat yang tidak disenangi dan meninggalkan perbantahan, walaupun ia be­nar". (7).

Az-Zubair berkata kepada puteranya: "Jangan kamu bertengkar dengan orang, dengan menggunakan AI-Qur-an! Karena kamu tiada akan sanggup menghadapi mereka. Akan tetapi haruslah kamu menggunakan Sunnah Na­bi صلى الله عليه وسلم ."

Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Barangsiapa menjadikan agamanya alat

(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas. Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(2)  Dirawikan Ath-Thabrani dari Abid-Darda', Anas bin Malik, Abi Amamah dan Wailah bin AI-Asqa' dengan isnad dia 'if.
(3)  Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas.
(4) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dengan sanad dla'if.
(5)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Amamah dan dipandangnya shahih.
(6) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah dengan sanad dla'if.
(7)  Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Abi Malik Al-Asy'ari dengan sanad dla'if.
27

Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Barangsiapa menjadikan agamanya alat permusuhan, niscaya membanyakkan ia berpindah tempat". Muslim bin Yassar berkata: "Jagalah kamu dari perbantahan! karena per­bantahan itu sa'at bodohnya orang berilmu. Dan pada sa'at itulah, setan berusaha supaya ia tergelincir".

Ada yang mengatakan, bahwa suatu kaum itu tiada akan sesat, karena me­reka sudah mendapat petunjuk Allah, selain disebabkan pertengkaran. Malik bin Anas r.a. berkata: "Pertengkaran itu tiada mempunyai arti apapun dari agama". Ia berkata pula: "Perbantahan itu mengesatkan hati dan mempusakai kedengkian".

Lukman berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau berteng­kar dengan ulama, nanti mereka sangat marah kepada engkau!". Bilal bin Sa'ad berkata: "Apabila engkau melihat seseorang bersikap keras kepala, suka bertengkar dan membanggakan dengan pendapatnya, maka su­dah sempurnalah kerugiannya".

Sufyan berkata: "Jikalau aku berselisih dengan temanku tentang buah de- lima, ia mengatakan manis, tetapi aku mengatakan masam, niscaya ia akan membawa aku kepada sultan". Sufyan berkata pula: "Ikhlaskanlah dengan cinta-kasih kepada siapa saja yang engkau kehendaki. Kemudian, engkau membuat kemarahannya dengan pertengkaran, Maka ia akan melemparkan engkau dengan kecerdikannya, yang menyusahkan engkau dalam kehidupan

Ibnu Abi Laila berkata: "Aku tiada akan berbantah dengan temanku. Ka­rena akibatnya, adakalanya aku akan mendustainya dan adakalanya aku a- kan memarahinya".

Abud-Darda' berkata: "Cukuplah dosa bagimu, bahwa kamu senantiasa ber- bantah-bantahan".

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
تكفير كل لحاء ركعتان
(Takfiiru kulli lihaa-in rak-'ataan).
Artinya: "Untuk kafarat (menutupkan dosa) pertengkaran, ialah dua ra- ka'at shalat" (1).

Umar r.a. berkata: "Jangan.engkau mempelajari ilmu karena tiga perkara dan jangan pula engkau meninggalkan belajar karena tiga perkara. Yaitu: ja­ngan engkau belajar karena untuk berbantah-bantahan, karena untuk memenyombong dan karena untuk memperlihatkan kepada orang (untuk ria). Dan jangan engkau meninggalkan belajar, karena malu menuntut ilmu, karena zuhud dan karena rela menjadi orang bodoh!". Nabi Isa a.s. berkata: "Barangsiapa banyak dustanya, niscaya hilang kecantikannya. Barangsiapa suka bertengkar dengan orang, niscaya gugur (hi­lang) kehormatannya. Barangsiapa banyak dukanya, niscaya sakit tubuhnya.(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amamah dengan sanad dla'if.

28

Dan barangsiapa jahat akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya sendiri". Orang bertanya kepada Maimun bin Mahran (penulis khalifah Umar bin Ab­dul-aziz): "Mengapa engkau tiada meninggalkan teman dari kemarahan?". Maimun bin Mahran menjawab: "Karena aku tiada bermusuhan dan tiada berbantahan dengan dia".

Apa yang tersebut tentang celaan terhadap perbantahan dan pertengkaran, adalah banyak dari dapat dihinggakan. Dan batas perbantahan itu, ialah: tiap-tiap penentangan terhadap perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya. Adakalanya pada kata-kata atau pada arti atau pada maksud dari yang mengatakan itu sendiri. Meninggalkan perbantahan itu, ia­lah dengan jalan meninggalkan perlawanan dan pertentangan. Maka setiap perkataan yang anda dengar, kalau benar, maka benarkanlah. Dan kalau batil (salah) atau bohong dan tiada menyangkut dengan urusan Agama, maka diam sajalah!

Mengecam perkataan orang lain, sekali adalah pada kata-katanya, dengan melahirkan cacat padanya, dari segi tata-bahasa atau dari segi bahasa atau dari segi bahasa Arabnya atau dari segi susunan dan tertib kata, dengan buruknya mendahulukankata-kataataumengemudiankannya.Padalain kali, ka­rena kurangnya pengetahuan.Dan pada lain kali lagi, disebabkan karena selipnya lidah.

Maka bagaimanapun adanya, tiada cara untuk melahirkan kecacatannya. Adapun mengenai arti kata, ialah, bahwa dikatakan: Tidaklah seperti yangengkau katakan. Engkau salah pada arti kata itu, dari segi anu        segi anu"

Adapun pada maksud perkataan, maka umpamanya, bahwa dikatakan: Per­kataan ini benar, akan tetapi, tidaklah maksud engkau dari padanya itu be­nar. Dan engkau padanya mempunyai maksud tertentu". Dan hal-hal lain yang berlaku seperti demikian.

Hal yang seperti ini, kalau berlaku pada masaalah ilmiah, kadang-kadang dikhususkan dengan nama: perdebatan. Ini juga tercela. Bahkan harus diam atau bertanya, dalam arti: ingin memperoleh faedah. Tidak atas cara kedengkian dan penentangan. Atau berlemah-lembut pada memperkenalkan, tidak dalam cara mengemukakan kecaman.

Mujadalah (bertengkar), adalah ibarat dari maksud mendiamkan orang lain dengan alasan (hujjah), melemahkannya dan mengurangkannya dengan ce­laan pada perkataannya, menghubunginya kepada keteledoran dan kebodohan.

Tandanya yang demikian, ialah: bahwa peringatannya kepada kebenaran dari segi yang lain itu tidak disukai oleh pihak yang bertengkar. Ia suka, bah­wa ia yang melahirkan keSalahan orang yangbertengkar itu, supaya terang de­ngan demikian, kelebihan dirinya dan kekurangan temannya. Dan tiada ja­lan kelepasan dari ini, selain dengan diam, dari tiap-tiap yang tidak akan ber- dosa, kalau didiamkan.

29

Adapun penggerak kepada pertengkaran itu, ialah ingin tinggi dengan mela­hirkan ilmu-pengetahuan dan kelebihan. Dan menyerang orang lain, dengan melahirkan kekurangannya.

Itulah dua nafsu-keinginan batiniah yang kuat bagi diri seseorang. Adapun melahirkan kelebihan diri, maka itu termasuk segi membersihkan diri. Dan itu, sebahagian dari kehendak apa yang terkandung pada seseo­rang, dari durhakanya pendakwaan tinggi dan sombong, Dan itu adalah ter­masuk sifat ketuhanan.

Adapun mengurangkan orang lain, maka itu termasuk diantara kehendak si­fat binatang buas. Ia menghendaki mengoyak-ngoyakkan lainnya, mema- tahkannya, memukulkannya dan menyakitinya.

Inilah dua sifat tercela, yang membinasakan. Kekuatan dua sifat ini, ialah: perbantahan dan pertengkaran. Orang yang biasa berbantah dan bertengkar itu menguatkan sifat-sifat ini yang membinasakan. Dan ini melampaui batas kemakruhan (perbuatan yang tidak disukai Agama), Tetapi itu, suatu per­buatan ma'siat, manakala terjadi padanya menyakitkan orang lain. Dan ber- bantah-bantahan itu, tiada teriepas dari menyakitkan, mengobarkan kemarahan dan membawa orang yang sudah melakukannya untuk mengulangi kembali. Lalu ia menolong perkataannya, dengan apa saja yang mung­kin, baik yang hak atau yang batil. Ia mencela pada yang mengatakannya, dengan apa saja yang tergambar baginya. Lalu berkobarlah pertengkaran di­antara dua orang yang bertengkar itu, sebagaimana berkobarnya perkela- hian diantara dua ekor anjing. Masing-masing bermaksud menggigit temannya, dengan cara yang lebih menewaskan, lebih kuat mendiamkan dan mencambukkan.

Adapun pengobatannya, ialah: dengan menghanciirkan kesombongan yang menggerakkannya kepada melahirkan kelebihannya.. Dan menghancurkan sifat binatang buas yang menggerakkannya kepada melahirkan kekurangan orang lain. Sebagaimana akan datang yang demikian nanti penjelasannya pada "Kitab Celaan kesombongan Dan Mengherani Diri" dan "Kitab Ce­laan Marah".

Sesungguhnya pengobatan setiap penyakit, ialah: dengan menghilangkan sebabnya. Dan sebab perbantahandan pertengkaran, ialahapa yang telah kami sebutkan dahulu.

Kemudian membiasakan diri pada perbantahan itu menjadikannya kebiasaan dan sifat diri (tabiat). Sehingga menetap pada diri dan sukar bersabar daripadanya.

Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah r.a. bertanya kepada Daud Ath- Tha-i: "Mengapa engkau memilih disudut?"

Daud Ath-Tha-i menjawab: "Untuk berjuang dengan diriku, meninggalkan pertengkaran".
Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Hadirilah semua majlis dan dengarlah apa yang dikatakan orang dan jangan engkau berkata-kata.'".

30

Daud Ath-Tha-i menerangkan seterusnya: "Lalu aku perbuat demikian. Ma­ka tiada aku melihat perjuangan yang lebih berat atas diriku dari itu". Dan itu benar, sebagaimana dikatakannya. Karena orang yang mendengar ke- salahan dari orang lain dan ia sanggup membukakannya, niscaya sukar se­kali baginya bersabar ketika itu. Karena itulah, Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ba­rangsiapa meninggalkan perbantahan, sedang ia dipihak yang benar, nisca­ya dibangun oleh Allah baginya suatu rumah dalam sorga tertinggi". Kare­na sangat berat yang demikian kepada jiwa.

Kebanyakan yang terjadi demikian,padaaliran-alirandanaqidah-aqidah. Ka­rena perbantahan itu adalah suatu tabiat. Apabila ia menyangka akan mem peroleh pahala, niscaya bersangatanlah keinginannya dan bertolong- tolonglah antara tabiat dan agama padanya.

Dan itu adalah salah semata-mata. Tetapi sayogialah bagi manusia, mencegah lidahnya dari ahli-qiblah (orang yang ta'at menghadap kiblat dengan shalat). Apabila melihat orang berbuat bida'ah, maka dengan lemah-lembut menasehatinya pada tempat. sepi, tidak dengan jalan pertengkaran. Karena pertengkaran itu menggambarkan kepadanya, bahwa itu adalah suatu usaha untuk mengacaukan. Dan itu adalah suatu bikinan, dimana orang-orang yang suka bertengkar dari ahli alirannya, sanggup berbuat seperti itu, jikalau mereka mau. Lalu terus-meneruslah bid'ah itu dalam hatinya dan bertambah kuat, disebabkan pertengkaran itu.

Apabila diketahui bahwa nasehat tidak bermanfa'at, maka berbuatlah untuk diri sendiri dan tinggalkanlah orang itu.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
رحم الله من كف لسانه عن أهل القبلة إلا بأحسن ما يقدر عليه
(Rahimal-laahu'man kaffa lisaanahu'an ahlil-qiblati illaa bi-ahsani maa yaq- diru alaihi).
Artinya: "Allah mengasihi orang yang mencegah lidahnya dari ahli qiblah, kecuali dengan sebaik-baiknya apa yang disanggupinya". (1).

Hisyam bin 'Urwah berkata: "Adalah Nabi s.a.'w. mengulang-ulangi sabdanya tadi tujuh kali".

Setiap orang yang membiasakan bertengkar pada suatu waktu dan ia memujikan manusia kepadanya, dan ia memperoleh bagi dirinya dengan sebab demikian, kemuliaan dan penerimaan, niscaya menguatlah segala yang membinasakan ini padanya. Dan ia tidak akan sanggup lagi menyebut di­rinya daripada yang membinasakan itu, apabila berkumpul padanya, kekuasaan marah, sombong, ria, suka kemegahan dan membanggakan diri dengan kelebihan. Dan masing-masing sifat ini sukar melawannya. Maka bagaimana pula dengan berkumpulnya sifat-sifat itu?

(1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Hisyan bin 'Urwah dengan isnad dha'if.
31


BAHAYA KELIMA: permusuhan.

Sifat ini juga tercela. Dan dia itu, dibalik pertengkaran dan perbantahan. Perbantahan itu, tusukan pada perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya, tanpa terikat dengan suatu maksud, selain untuk menghina orang lain dan melahirkan kelebihan kecerdikan diri sendiri. Pertengkaran itu, ibarat sesuatu hal, yang menyangkut dengan melahirkan aliran-aliran dan menetapkannya. Dan permusuhan itu, gelombang pada perkataan, untuk memperoleh kesempurnaan harta atau sesuatu hak yang dimaksud. Yang demikian itu, sekali adalah permulaan dan pada kali yang lain, adalah teguran. Dan perbantahan itu tidak ada;selain dengan teguran terhadap perkataan yang sudah terdahulu. 'A'syah r.a: berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
(Inna abghadlar-rijaali ilal-laahil-aladdul-khashim).
إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم
Artinya:''Orang yang sangat dimarahi oleh Allah, ialah orang yang sangat bermusuhan".(l).

Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa berteng­kar dalam suatu permusuhan, tanpa ilmu, niscaya senantiasalah ia dalam a- marah Allah, sehingga ia meneabut dirinya daripadanya1'. (2). Sebahagian mereka berkata: "Jagalah dirimu dari permusuhan!. Karena permusuhan itu menghapuskan agama". Dan dikatakan, bahwa wang wara' tidak sekali-kali bermusuhan mengenai agama.

Ibnu Qutaibah berkata: "Datang padaku,Bisyr bin Abdullah bin AbiBak- rah. Lalu ia bertanya: "Apakah yang menyebabkan engkau duduk disini?. Aku jawab, lantaran permusuhan antaraku dan anak pamanku". Lalu Bisyr berkata: "Bahwa ayahmu mempunyai perbuatan baik padaku. Dan aku ber­maksud membalasnya kepadamu. Dan demi Allah, aku tiada melihat suatu pun yang menghilangkan agama, yang mengurangkan kepribadian, yang me­nyia-nyiakan kesenangan dan yang mengganggu hati, selain dari permusuh an .

Ibnu Qutaibah meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bangun berdiri, hendak pergi. Maka musuhku berkata kepadaku: "Apa kabar engkau sekarang?". Lalu aku jawab: "Tidak ada akan aku bermusuh lagi dengan engkau". Mu- suh itu berkata: "Sesungguhnya engkau tahu, bahwa kebenaran adalah pada pihakku". Lalu aku jawab: "Tidak, aku tidak tahu. Tetapi aku muliakan diriku dari hal itu". Maka musuh itu menjawab: "Aku tiada meminta sesuatu daripadamu, yang menjadi milikmu!".


(1)  Dirawikan Al-Bukhari dari Aisyah r.a.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ai-Ishfahani dari Abu Hurairah dan dipandang dla'if oleh kebanyakan ulama hadits.
32

Jikalau anda bertanya, bahwa apabila manusia mempunyai sesuatu hak, ma­ka tak boleh tidak ia bermusuhan pada menuntutnya atau pada menjaganya, manakala ia dianiaya oleh orang zalim. Maka bagaimana hukumnya dan ba- gaimana mencela permusuhannya?

Ketahuilah kiranya, bahwa celaan ini termasuk yang bermusuhan dengan yang batil dan yang bermusuhan, tanpa ilmu, seperti wakil hakim (qadli). Maka wakil hakim itu sebelum mengetahui bahwa hak itu pada pihak yang mana, maka ia menyerah pada permusuhan itu, dari pihak mana adanya. Lalu ia bermusuhan, tanpa ilmu. Dan termasuk orang yang menuntut hak- nya. Tetapi ia tidak membatasi sekadar perlu saja. Bahkan ia melahirkan ke- sangatan permusuhan itu, dengan maksud menguasai atau dengan maksud menyakiti. Dan termasuk orang yang mencampurbaurkan dengan permusuhan itu, kata-kata yang menyakitkan, yang tidak diperlukan untuk menolong alasan dan melahirkan kebenaran. Dan termasuk pula orang yang dibawa kepada permusuhan itu oleh kedengkian semata-mata, untuk memaksakan musuh dan menghancurkannya, sedang ia kadang-kadang memandang leceh harta yang sekadar itu.

Dan dalam manusia, ada orang yang menegaskan demikian, seraya berkata: "Sesungguhnya maksudku itu, dengki kepadanya dan menghancurkan ke- hormatannya. Sesungguhnya, jikalau aku mengambil harta ini daripadanya, mungkin aku lemparkan kedalam sumur. Dan aku tidak perduli". Inilah maksudnya yang sangat bersangatan, permusuhan dan perbantahan. Dan itu tercela sekali.

Adapun orang yang teraniaya, yang menolong alasannya (hujjahnya) dengan jalan Agama,, tanpa bersangatan, berlebih-lebihan dan tambahan perban­tahan sekadar perlu, tanpa maksud kedengkian dan menyakitkan, maka per­buatan yang demikian tidak haram. Tetapi yang lebih utama ditinggalkan, bila diperoleh jalan lain. Karena mengekang lidah pada permusuhan dalam batas sederhana, adafeih sukar. Dan permusuhan itu memenuhi dada dan mengobarkan kemarahan. Apabila kemarahan itu telah berkobar, niscaya lupalah apa yang dipertengkarkan. Dan kekallah kedengkian diantara dua orang yang bermusuhan itu. Sehingga masing-masifig bergembira dengan nasib buruk temannya. Dan merasa susah dengan gembiranya teman itu. Dan lidah dilepaskan terhadap kehormatan teman tersebut. Siapa yang memulai permusuhan, maka sesungguhnya ia telah mendatangi bagi segala yang harus diawasi itu. Sekurang-kurangnya apa yang padanya mengacaukan batinnya. Sehingga ia dalam shalatnya, berbuah untuk meng- hadapi musuhnya. Maka hal itu tidak tinggal atas batas yang wajib saja. Permusuhan itu permulaan tiap-tiap kejahatan. Begitu pula perbantahan dan pertengkaran. Maka sayogialah tidak dibuka pintunya, selain karena darurat. Dan ketika darurat itu, sayogialah lidah dan hati dijaga dari akibat- akibat permusuhan. Dan yang demikian itu memang sukar sekali.

33

Barangsiapa membatasi dalam permusuhannya kepada yang perlu saja, nis­caya ia selamat dari dosa. Dan tidak tercela permusuhannya, kecuali kalau ia tidak memerlukan kepada permusuhan, mengenai. apa yang dipermusuhkan itu. Karena padanya, ada yang mencukupkannya. Maka adalah ia mening­galkan untuk yang lebih utama. Dan tidaklah ia orang berdosa. Benar", sekurang-kurangnya dalam permusuhan, perbantahan dan pertengkaran itu, hi- langnya perkataan yang baik dan pahala yang dapat diperoleh padanya. Ka­rena sekurang-kurangnya tingkat perkataan yang baik itu, melahirkan perse- tujuan. Dan tak ada perkataan yang kasar, yang lebih besar daripada tusu- kan dan teguran, yang hasilnya, adakalanya membodohkan dan adakalanya mendustakan. Sesungguhnya orang yang bertengkar dengan orang lain atau berbantah-bantahan atau bermusuh-musuhan, maka ia telah membodohkan atau mendustakan orang tersebut. Lalu lenyaplah dengan dia perkataan yang baik.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
يمكنكم من الجنة طيب الكلام وإطعام الطعام
(Yumakkinukum minal-jannati thayyibul-kalaami wa ith'aamuth-tha'aami). Artinya: Menjadikan kamu dari isi sorga, oleh perkataan yang baik dan memberi makanan (kepada orang yang memerlukan)"(l). Allah Ta'ala berfirman:-
وقولوا للناس حسنا
(Wa quuluu lin-naasi husnaa).
Artinya: "Dan katakanlah perkataan yang baik kepada manLsia!". -S.A1- B'aqarah, ayat 83.

Ibnu Abbas r.a. berkata: "Siapa saja dari makhluk Allah memberi salam ke- padamu, maka jawablah salam itu, walaupun ia orang. majusi (penyembah api). Karena Allah' Ta'ala berfirman:-
وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن
(Wa idzaa huyyiitum bi-tahiyyatin, fa hayyuubi-ahsanaminhaaau ruddmiha). Artinya: "Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) dengan cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya)!".S.An-Nisaayat 86. Ibnu Abbas berkata pula: "Kalau sekiranya Firun berkata baik kepadaku, niscaya aku balas kepadanya (dengan baik)".

34
(1) 1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Jabir. Dan menurut Al-Iraqi, ada dari perawinya,orang yang tidak dikenalnya..


Anas berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya dalam sorga a­da beberapa kamar, yang dilihat lahirnya (luarnya) dari batinnya (dafamnya) dan batinnya dari lahirnya. Kamar-kamar itu disediakan oleh Allah Ta'ala kepada orang yang memberi makanan dan melembutkan perkataan".(l).

Diriwayatkan, bahwa Nabi Isa a.s. dilewati seekor babi, lalu ia berkata: "Lalulah dengan selamat!". Lalu orang bertanya kepadanya: "Wahai Ruhu'llah! Engkau katakan yang demikian itu kepada babi?".
Maka Nabi Isa a.s. men­jawab: "Aku tidak suka membiasakan lidahku dengan yang buruk".
Nabi kita صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Kata yang baik itu sedekah".(2)

Nabi صلى الله عليه وسلم . ber­sabda: "Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun dengan sekeping tamar! Kalau kamu tidak memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik!"(3).

Umar r.a. berkata: "Kebajikan itu barang yang mudah; muka yang jernih dan perkataan yang lemah lembut".
Setengah hukama' berkata: "Perkataan yang lemah lembut itu membasuhkedengkian yang tersembunyi dalam anggota badan".

Setengah hukama' berkata: "Tiap-tiap perkataan yang tidak memarahkan tuhanmu, melainkan juga kamu me'nyenangkan orang yang duduk bersamamu. Maka janganlah kamu kikir terhadap perkataan itu! Mudah-mudahan akan menggantikan kepadamu, pahala orang yang berbuat baik daripadanya".

Ini semua mengenai kelebihan perkataan yang baik. Dan lawannya, ialah: permusuhan, perbantahan, pertengkaran dan pergaduhan. Itu adalah perka­taan yang tidak disukai, yang meliarkan, yang menyakitkan hati, yang mengeruhkan kehidupan, menggerakkan kemarahan dan yang menyesakkan dada. Kita bermohon kepada Allah akan kebagusan taufiq dengan nikmat dan kurniaNya!


(1)
Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Suwaid bin Sa'id.
(2)
Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
(3)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari'Uda bin Hatim.

BAHAYA KEENAM: berbuat dalamnya keluar kata-kata dalam rahang, berbuat sajak dan kelancaran berbicara dengan dipaksakan, berbuat-buat dengan kata-kata kemuda-mudaan dan kata-kata pendahuluan dan apa yang biasa dilakukan oleh kebiasaan orang-orang yang membuat-buat kelancaran berbicara, yang menyerukan kepada berpidato,Semua yang tersebut itu, termasuk bikin-bikinan yang tercela dan termasuk yang dipaksa-paksakan yang tercela, dimana Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
أنا وأتقياء أمتي برءاء من التكلف
(Ana wa atqiaa-u ummatii bura-aa-u minat-takalluf).
Artinya: "Aku dan ummatku yang taqwa itu teriepas daripada yang di paksa-paksakan (at-takalluf)" (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya yang lebih aku marahi dan yang lebih jauh tempat duduknya daripadaku, ialah: orang-orang yang berbicara melantur kesana kemari, yang berbuat seolah-olah memahami dan yang ber­bicara, yang keluarnya dari rahang" (2).

Fatimah r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ummatku yang paling jahat, ialah: mereka yang makan dengan kenikmatan, memakan ber-macam- macam warna makanan, memakai bermacam-macam warna kain dan ber­bicara dengan mengeluarkan perkataan dari rahang" (3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ketahuilah, orang-orang tanath-thu' itu binasa". Ti­ga kali beliau صلى الله عليه وسلم . menyabdakannya (4).Tanath-thu', yaitu: mendalam-dalamkan dan menghabis-habiskan keluarnya perkataan.

Umar r.a. berkata: "Perkataan yang gemuruh itu adalah dari gemuruhnya suara setan".

Amr bin Sa'ad bin Abi Waqqash datang kepada ayahnya Sa'ad, meminta sesuatu keperluan. Lalu ia berkata dengan perkataan yang membentangkan hajat-keperluannya.Lalu menjawab Sa'ad: "Adalah aku lebih jauh dari hajatmu pada hari ini. Aku mendengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Akan da­tang kepada manusia suatu zaman, dimana mereka menyelang-nyelangi per­kataan dengan lidahnya, seperti sapi betina menyelang-nyelangi rumput de­ngan lidahnya". (5). Seakan-akan Sa'ad membantah apa yang dikemukakan oleh anaknya, atas perkataan dari kemuda-mudaan dan kata pendahuluan yang dibuat-buat, secara dipaksakan.

Ini juga termasuk bahaya lidah. Dan masuk juga dalam bahagian ini, setiap sajak yang disusun secara berat."Begitu pula kata-kata yang faseh (kepandaian bercakap), yang keluar dari batas kebiasaan. Begitu pula sajak yang dibuat dengan berat pada percakapan-percakapan. Karena Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menghukum kuatnya air pada janin (budak dalam kandungan). Lalu berkata setengah kaum yang menganiaya: "Bagaimana basah orang yang ti­dak minum, orang yang tidak makan, tidak menjerit dan tidak berkata de­ngan suara nyaring. Hal yang seperti itu batil. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Adakah sajak itu seperti sajaknya Arab badui?"(6). Nabi صلى الله عليه وسلم . menentang yang demikian. Karena kesan memberat-berati dan berbuat-buat itu nyata sekali pada perkataan tersebut. Tetapi sayogialah di-

(1)   Dirawikan AdrDaraquthni dari Az-Zubair bin Al-'Awwam. hadits marfu
(2)  Dirawikan Akmad dari Abi Tsa'labah.
(3)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi.
(4)  Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(5)  Dirawikan Ahmad dari Sa'ad.
(6)  Dirawikan Muslim dari Al-Mughirah bin Syubah dan Abu Hurairah.
36

Tetapi sayogialah disingkatkan pada tiap-tiap sesuatu itu diatas maksudnya. Dan maksud perka­taan itu, ialah memberi pemahaman kepada maksud. Dan dibalik yang de­mikian, adalah dibuat-buat, yang tercela.

Tidak masuk pada katagori ini, membaguskan kata-kata pidato dan peri- ngatan tanpa berlebih-lebihan dan keganjilan. Karena yang dimaksud dari pidato itu menggerakkan hati, menyukakannya, menggenggam dan mem- bentangkannya. Maka karena manisnya kata-kata itu mempunyai bekas pa­danya. Dan itu adalah layak.
Adapun pembicaraan-pembicaraan yang berlaku untuk menunaikan keperluan, maka tidak layak bersajak, mengeluarkan perkataan yang keluar dari rahang dan melaksanakannya dengan dipaksakan, yang tercela. Dan tak ada penggerak kepada yang demikian, selain oleh ria, melahirkan kefasehan (kelancaran berkata-kata) dan perbedaan diri dengan kecerdikan. Semua itu tercela, tidak disukai oleh Agama dan dilarang daripadanya.

BAHAYA KETUJUH: kekejian, makian dan kekotoran lidah.

Itu adalah tercela dan terlarang. Sumbernya, ialah: sifat keji dan jahat.
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إياكم والفحش فإن الله تعالى لا يحب الفحش ولا التفحش
(Iyyaakum wal-fuhsya, fa innallaaha ta'aalaa iaa yuhibbul-fuhsya wa lat-ta- fahhusy).
Artinya: "Jagalah dirimu dari kekejian! Karena Allah Ta'ala tiada menyukai kekejian dan membuat kekejian". (1).

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . melarang memaki orang-orangmusyrik yang terbunuh pa­da perang Badar. Beliau bersabda: "Janganlah kamu memaki mereka! Se­sungguhnya tiada sampai sesuatu kepada mereka, dari apa yang kamu ka­takan. Dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah, bahwa ke­kotoran lidah itu tercela".(2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tidaklah orang mu'min itu pencela, pengutuk, pem- buat perbuatan keji dan berlidah kotor". (3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sorga itu haram kepada tiap-tiap orang yang berbuat kekejian, memasukinya". (4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Empat orang yang menyakiti ahli neraka (penduduk neraka) dalam neraka, terhadap kesakitan yang dideritai mereka. Mereka ber jalan diantara api yang pan as dan neraka jahim. Mereka menyerukan a-

(1)  Dirawikan Ibnu Hibban dari Abi Hurairah.
(2)  Dirawikan An-Nasa-i dari Ibnu Abbas, dengan isnad shahih.
(3)  Dirawikan At-Tirmizi dari Ibni Mas'ud. dengan isnad shahih.
(4) Dirawikan Ibnu-Abid-Dun-ya dan Abu Na'im dari Abdullah bin Amr.
37

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Empat orang yang menyakiti ahli neraka (penduduk neraka) dalam neraka, terhadap kesakitan yang dideritai mereka. Mereka ber jalan diantara api yang pan as dan neraka jahim. Mereka menyerukan azab dan kebinasaan. Yaitu: orang yang mengalir pada mulutnya nanah dan darah. Lalu ditanyakan kepadanya: "Apa kabar orang yang jauh, yang telah menyakiti kami, terhadap kesakitan yang kami alami?"Lalu orang itu men­jawab: "Bahwa orang yang jauh itu memandang kepada tiap-tiap kata keji dan kotor. Lalu ia merasa enak dengan perkataan itu, seperti ia merasa enak dengan perkataan buruk". (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada 'A'isyah:
يا عائشة لو كان الفحش رجلا لكان رجل سوء
(Yaa 'Aisyah! Lau kaanal-fuhsyurajulan, la-kaana rajula suu-in). Artinya: "Hai 'A'isyah! Jikalau yang keji itu seorang laki-laki, maka itu adalah laki-laki jahat".(2).

 Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
البذاء والبيان شعبتان من شعب النفاق
 (Al-badzaa-u wal-bayaanu syu'bataani min syu'abin-nifaaq). Artinya: "Ke­kejian dan penjelasan itu dua cabang dari cabang-cabang nifaq (sifat orang munafiq)". (3).

Mungkin yang dimaksudkan dengan penjelasan (al-bayaan) diatas tadi, menyingkapkan apa yang tidak boleh disingkapkan. Dan mungkin pula, ber­sangatan pada penjelasan. Sehingga sampai kepada batas memberat-berat- kan. Dan mungkin pula, penjelasan pada urusan Agama dan pada sifat Allah Ta'ala. Sesungguhnya menyampaikan yang demikian secara keseluruhan (se­cara global) kepada pendengaran orang awam, itu lebih utama, daripada bersangatan pada menerangkannya. Karena kadang-kadang dari terlalunya penjelasan, lalu berkobar keragu-raguan dan waswas. Maka apabila disam- paikan secara global, niscaya bersegeralah hati menerimanya. Dan tidak kacau. Tetapi menyebutkannya dengan disertai perkataan kotor, itu menye- rupai, bahwa maksudnya berterus-terang menjelaskar apa yang memalukan orang untuk diterangkan. Maka yang lebih utama pada contoh yang seperti ini, ialah: menutup mata dan melupakan. Tidak disingkapkan dan diterang­kan.


(1)'  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Syafi bin Mati.
(2)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu Luhai'ah dari Aisyah.-
(3)   Dirawikan At-Tirmizt dan Al-Hakim dari Abi Amamah. menurut syarat AI-Bukhari dan Muslim.
38

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن الله لا يحب الفاحش المتفحش الصياح في الأسواق
(Innal-laaha laa yuhibbul-faahisyal-mutafahhisyash-shayyaaha fil-aswaaq).
Artinya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menyukai orang keji, yang membuat-buat keji, yang menjerit-jerit dipasar".(l).

Jabir bin Sararah berkata: Aku duduk disamping Nabi صلى الله عليه وسلم . dan ayahku dihadapanku. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن الفحش والتفاحش ليسا من الإسلام في شيء وإن أحسن الناس إسلاما أحاسنهم أخلاقا
(Innal-fuhsya wat-tafaahusya lai-saaminal-islaami fii syai-in wa inna ahsanan- naasi islaaman ahaasinuhum akhlaaqaa).Artinya: "Sesungguhnya kekejian dan berbuat-buat kekejian, tidaklah sedi- kitpun dari Islam. Sesungguhnya manusia yang terbaik Islamnya, ialah mere­ka yang baik akhlaknya".(2).

Ibrahim bin Maisarah berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa orang keji, yang berbuat keji, akan dibawa pada hari kiamat dalam bentuk anjing atau dalam perut anjing".

Al-Ahnaf bin Qais berkata: "Apakah belum aku beritakan kepadamu, pe nyakit yang paling berbahaya?, Yaitu: lidah kotor dan akhlak rendah". Maka inilah celaan kekejian.

Adapun batas dan hakikatnya, maka itu menerangkan hal-hal yang keji, dengan kata-kata yang tegas. Dan kebanyakannya berlaku pada kata-kata perzinaan dan yang berhubungan dengan perzinaan. Karena orang-orang yang berbuat kerusakan itu, mempunyai kata-kata tegas, yang keji, yang di- pakainya pada maksud tersebut. Dan orang-orang y^ng baik, menjauhkan diri daripadanya. Bahkan mereka mengucapkan dengan sindiran (kinayah) dan menunjukkannya dengan isyarat-isyarat (rumuz). Mereka menyebut- kannya dengan kata-kata yang mendekati atau yang berhubungan dengan hal itu.

Ibnu Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah Hidup, Yang Pemurah, Yang Mema'afkan dan Yang Menyebut dengan sindiran (kinayah)". Allah Ta'ala menyebutkan dengan kinayah: menyintuh, buat: bersetubuh. Maka kata-kata: menyintuh, memegang, dukhul (memasukkan) dan berteman (shuhbah), adalah kata-kata kinayah buat: bersetubuh. Dan tidaklal kata-kata tadi, kata-kata yang keji.

Disamping itu, ada kata-kata keji, yang dipandang keji menyebutkannya Kebanyakannya dipakai pada makian dan memalukan orang. Dan kata-kat; itu berlebih-kurang kekejiannya. Sebahagian sangat kejinya dibandingkai dengan sebahagian lainnya. Kadang-kadang berselisih yang demikian, dise babkan oleh berbedanya adat-kebiasaan dari negeri-negeri yang bersang kuian. Permulaannya makruh dan penghabisannya haram. Dan diantara ke duanya, terdapat tingkat-tingkat yang bulak-balik padanya.

(1)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Jabir dengan sanad dha'if.
(2)  Dirawikan Ahmad dan Ibnu Abid-Dun-ya dengan isnad shahih.
39

Dan tidaklah ini khusus dengan: bersetubuh. Tetapi dengan kinayah, de­ngan memakai perkataan qadha' hajat (menunaikan hajat) untuk kencing dan berak itu, lebih utama dari kata-kata: membuang berak, kencing dan lainnya. Karena ini juga termasuk hal yang disembunyikan. Tiap-tiap yang disembunyikan, adalah malu disebut terang-terangan. Maka tiada sayogia­lah disebut kata-katanya yang tegas. Karena itu adalah keji. Begitu pula, dipandang baik pada adat kebiasaan, menyebutkan secara ki­nayah, tentang: wanita. Maka tidak dikatakan: "Isteri anda berkata demi­kian". Tetapi dikatakan: "Dikatakan dalam kamar atau dibalik tabir". Atau: "Kata ibu anak-anak". Maka menggunakan kata-kata tersebut secara halus itu terpuji. Dan berterus-terang padanya, membawa kepada kekejian. Begitu pula orang yang mempunyai kekurangan, yang malu disebutkan. Ma­ka tidak sayogialah dikatakan dengan kata-kata terus-terang, seperti: supak, botak dan penyakit bawazir. Akan tetapi, dikatakan bahwa hal yang me- nimpa, yang dideritanya dan hal-hal yang seperti itu. Maka menyebutkannya dengan terus-terang itu, termasuk dalam kekejian. Dan semuanya itu dari bahaya-bahaya lidah.

Al-'AIa' bin Harun berkata: "Adalah Umar bin Abdul-aziz itu menjaga da­lam pembicaraannya. Maka keluarlah bisul dibawah ketiaknya. Lalu kami datang kepadanya, menanyakannya, untuk mengetahui apa yang akan dija- wabnya. Kami bertanya: "Dari mana bisul itu keluar?". Lalu ia menjawab: "Dari dalam tangan".

Penggerak kepada kekejian itu, adakalanya dengan maksud menyakitkan o- rang. Dan adakalanya karena kebiasaan yang diperoleh dari pergaulan de­ngan orang-orang fasik, ahli kekejian dan kecelaan. Dan diantara kebiasaan mereka itu: memaki.

Seorang Arab Badui berkata kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم : "Berilah aku wasiat!". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab:Artinya: "Engkau harus bertaqwa kepada Allah. Jikalau seseorang memberi malu kepada engkau, dengan sesuatu yang diketahuinya pada engkau, maka janganlah engkau memberi malu dia dengan sesuatu, yang engkau ketahui padanya, niscaya adalah celakanya kepadanya dan pahalanya kepada eng­kau! Dan janganlah engkau memaki sesuatu!"(l).

orang Arab Badui itu meneruskan ceriteranya: "Maka tidaklah sesudah itu, aku memaki sesuatu".

(1) Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dengan isnad yang tiaik dari Abi Yara Al-Hujaimi.
40

Ayyadl bin Himar berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesung­guhnya seorang laki-laki dari kaumku, memaki aku. Dan dia itu, darajatnya kurang dari aku. Bolehkah aku memperoleh kemenangan daripadanya?". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dua orang yang bermaki-makian itu, keduannya adalah setan, yang nyalak-menyalak dan kacau-mengacau". Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Makian orang mu'min itu fasik dan pembunuhannya itu kufur".(1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Dua orang yang bermaki-makian itu adalah apa yang dikatakan oleh keduanya. Maka yang berdosa ialah yang memulai diantara keduanya, sehingga yang teraniaya itu menyerang".(2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Terkutuklah orang yang memaki ibu-bapanya".(3). Pada suatu riwayat, tersebut: "Termasuk dosa terbesar itu, bahwa orang me­maki ibu-bapanya". Lalu mereka bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Bagaimana orang memaki ibu bapanya?". Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Ia memaki bapak orang, lalu orang memaki bapaknya".(4).

BAHAYA KEDELAPAN: mengutuk.
Adakalanya untuk hewan atau benda keras atau manusia. Semua itu tercela. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
لا تلاعنوا بلعنة الله ولا بغضبه ولا بجهنم
(Laa talaa 'anuu bi-la'natil-laahi wa laa bi-ghadlabihi wa laa bi-jahannam). Artinya: "Janganlah kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan Allah, dengan kemarahanNya dan dengan neraka jahannam".(6).


1)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(2)
Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
(3)
Dirawikan Ahmad, Abu Ya'la dan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas.
(4)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin 'Amr.
(5)
Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar dan dipandangnya hadits hasan.
(6)
Dirawikan Abu Daud dan At-Tirmizi dari Samrah bin Jundub, hadits shahih.
41

Hudzaifah berkata: "Tidaklah sekali-kali suatu kaum itu kutuk-mengutuk, melainkan akan benarlah perkataan kutukan itu keatas mereka". Tmran bin Hushain berkata: "Ketika Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dalam sebahagian perjalanannya, maka terlihat seorang wanita Anshar (wanita berasal Ma-dinah) berada diatas untanya. Lalu ia bosan kepada unta itu, maka diku- tuknya. Mendengar yang demikian, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: kepada para shahabatnya: "Ambillah apa yang ada diatas unta itu dan pinjamkanlah! Sesungguhnya dia itu terkutuk".(l).

'Imran berkata: "Seakan-akan aku melihat kepada unta itu berjalan diantara orang banyak, yang tiada seorang pun menggangguinya". Abu'd-Darda' berkata: "Apabila seseorang mengutuk bumi, maka bumi itu berkata: "Allah mengutuk orang yang paling durhaka kepada Allah diantara kita".

'A isyah r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mendengar Abubakar, mengutuk sebahagian budaknya. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menoleh kepada Abubakar, seraya bersabda: "Hai Abubakar! Adakah orang siddiq dan pengutuk? Ti­daklah sekali-kali yang demikian, demi Tuhan yang Empunya Ka'bah!". Na­bi صلى الله عليه وسلم . mengatakan itu dua kali atau tiga kali". (2). Pada hari itu juga Abubakar memerdekakan budaknya itu. Dan ia datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., lalu berkata: "Tiada akan aku ulang lagi yang demi­kian".

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya pengutuk-pengutuk itu, tiada akan memperoleh syafa'at dari syahid pada hari kiamat".(3). Anas berkata: "Seorang laki-laki berjalan bersama Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  mengendarai keledai. Lalu laki-laki itu mengutuk keledainya. Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Hai hamba Allah! Jangan engkau berjalan bersama kami, diatas keledai yang terkutuk!".(4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda demikian, karena menantang atas perbuatan tersebut. Kutuk, adalah ibarat dari menghalau dan menjauhkan dari Allah Ta'ala. Dan yang demikian, tidak dibolehkan. Kecuali terhadap orang yang bersifat dengan sifat yang menjauhkannya daripada Allah 'Azza-wa Jalla. Yaitu kufur dan zalim. Lalu ia mengatakan: "Kutukan Allah atas orang-orang zalim dan orang-orang kafir'.'Dan sayogialah diikutkan padanya kata-kata Agama. Karena pada kutukan itu bahaya. Karena ia menetapkan atas Allah 'Azza wa Jalla, bahwa Allah telah menjauhkan orang yang terkutuk itu. Dan yang demikian itu adalah hal ghaib, yang tidak dilihat, selain oleh Allah Ta'ala. Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . melihatnya, apabila diperlihatkan oleh Allah Ta'ala.

Sifat-sifat yang membawa kepada kutukan itu tiga: kufur, bid'ah dan fasik. Untuk kutukan pada masing-masing yang tiga tadi, ada tiga tingkat:- Tingkat Pertama: kutukan dengan sifat yang lebih umum. Seperti engkau katakan: "Kutukan Allah atas orang-orang kafir, orang-orang pembuat bid' ah dan orang-orang fasik".

(1)    Dirawikan Muslim dari 'Imran bin Hushain.
(2)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Aisyah dan dipandang dla'if oleh kebanyakan ulama hadits.
(3)   Dirawikan Muslim dari Abid-Darda.
(4)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan isnad baik.
42

Tingkat Kedua: kutukan dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Seperti eng­kau katakan: "Kutukan Allah atas orang Yahudi, Nasrani, Majusi, orang Qadariyah, orang Khawarij dan orang Rafidli (1). Atau atas orang-orang penzina, orang-orang zalim dan pemakan riba. Dan setiap yang demikian itu boleh. Akan tetapi pada mengutuk sifat-sifat orang yang berbuat bid'ah itu bahaya. Karena mengenai bid'ah itu sulit. Dan tak terdapat suatu kata-kata yang diperoleh dari Nabi صلى الله عليه وسلم . dan para shahabat yang mengenai demikian. Maka sayogialah orang awam dilarang daripadanya. Karena yang demikian itu membawa kepada pertentangan yang menyamai dengan kutukan itu. Dan mengobarkan percecokan diantara sesama manusia dan kerusakan.

Tingkat Ketiga: kutukan bagi orang tertentu. Dan ini berbahaya, seperti engkau katakan: "Si Zaid yang dikutuk oleh Allah. Dia itu kafir atau fasik atau pembuat bid'ah".

Penguraian mengenai hal tersebut, ialah bahwa tiap-tiap orang yang telah te­gas terkutuknya pada Agama, maka bolehlah mengutukinya. Seperti anda katakan: "Fir'un yang dikutuk oleh Allah. Dan Abu Jahal yang dikutuk oleh Allah, Karena telah tegas, bahwa mereka itu mati diatas kekufuran. Dan yang dimikian itu telah diketahui pada Agama. Adapun orang seorang yang tertentu pada masa kita sekarang, seperti kata anda: "Si Zaid yang dikutuk oleh Allah" dan dia itu orang Yahudi, umpa- manya, maka ini berbahaya. Karena mungkin ia muslim. Lalu meninggal, dengan mendekatkan diri pada sisi Allah. Maka bagaimana dihukum dia itu terkutuk?

Kalau anda katakan, dia itu terkutuk karena dia itu kafir sekarang, seba­gaimana dikatakan kepada orang muslim: "Kiranya ia dicurahkan rahmat oIeh Allah", karena dia itu muslim sekarang, walaupun dapat digambarkan bahwa orang itu akan murtad. Maka ketahuilah, bahwa arti perkataan kita:

"Kiranya ia dicurahkan rahmat oleh Allah", artinya: kiranya ditetapkan dia oleh Allah,pada Agama Islam yang menjadi sebab memperoleh rahmat dan diatas keta'atan. Dan tidak mungkin dikatakan: "Kiranya ditetapkan oleh Allah akan orang kafir diatas keadaan yang menjadi sebab kutukan. Karena ini adalah persoalan kufur. Dan orang itu adalah kufur pada dirinya sendiri. Tetapi boleh dikatakan: "Kiranya ia dikutuk oleh Allah, jikalau ia mati di-

(1)
a. Orang Majusi, orang beragama Zoroaster, sekarang masih ada sisanya di Iran dan di- India.
b.Orang Qadaryah, berkeyakinan bahwa bukan Allah yang menjadikan segala perbuat­an manusia, tetapi manusia itu sendiri yang berkuasa penuh terhadap perbuatannya (Qudrah ada pada manusia itu sendiri).
c.Orang Khawarij, suatu golongan yang tidak mau mengikuti dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah. Hal itu terjadi pada masa pemerinthan Ali bin Abi Talib.
d.Orang Rafidli, segolongan Syi'ah yang ektrem, menolak pimpinan dalam peperangan atau di luar peperangan.
43

atas kekufuran. Dan kiranya tiada dikutuk oleh Allah, jikalau ia mati diatas keIsIaman". Dan itu adalah hal ghaib, yang tidak diketahui. Dan hal yang mutlak itu diragukan diantara dua arah. Maka pada hal yang demikian itu bahaya. Dan tidak ada bahayanya pada meninggalkan kutukan. Apabila anda telah mengerti akan ini mengenai orang kafir, maka mengenai: si Zaid fasik atau si Zaid pembuat bid'ah itu lebih utama lagi. Mengutuki pribadi-pribadi yang demikian itu bahaya. Karena pribadi-pribadi itu perihal keadaannya, berobah-robah. Kecuali orang yang telah diberi-tahukan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Maka bolehlah diketahui, siapa yang akan mati diatas kekufuran.

Dan karena itulah, Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menentukan sesuatu kaum dengan kutukan. Ia mengatakan dalam do'anya atas orang Qurasy: "Wahai Allah Tuhahku! Diatas Engkaulah Abu Jahal bin Hisyam dan 'Utbab bin Rabi'ah" (1). Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menyebut suatu golongan yang terbunuh pada perang Badar diatas kekufuran. Sehingga orang yang tidak di­ketahui kesudahannya, lalu dikutukinya. Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dilarang oleh Allah S.W.T. dari yang demikian. Karena diriwayatkan: "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . mengutuk orang-orang yang membunuh penduduk Bi'ru Ma'unah dalam qunutnya (pada shalat Subuh) selama sebulan. Lalu turunlah firman Allah Ta'ala:-
(Laisa laka minal-amri syai-un au yatuuba alaihim au yu'adz-dzibahum, fa in- nahum dzaalimuun).Artinya: "Tiadalah engkau mempunyai kepentingan dalam perkara itu sedikitpun. Tuhan menerima tobat mereka atau menyiksa mereka, karena se­sungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim".S.Ali 'Imran, ayat 128. Ya'ni: sesungguhnya mer$ka itu boleh jadi muslim. Maka dari manakah engkau tahu, bahwa mereka itu terkutuk?

Begitu pula, orang yang telah nyata bagi kita kematiannya diatas kekufuran, niscaya boleh mengutukinya dan boleh mencelanya, jikalau tak ajda padanya menyakiti orang Islam. Kalau ada, niscaya tidak dibolehkan. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa: Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bertanya kepada Abubakar r.a. tentang kuburan yang dilaluinya, sedang ia bermaksud ke Thaif. Lalu Abu­bakar r.a. menjawab: "Ini kuburan seorang laki-laki yang mendurhakai Allah dan RasulNya. Yaitu: Said bin Al-'Ash. Maka marahlah anak Sa'id, yaitu: 'Amr bin Sa'id. 'Amr berkata: "Wahai Rasulu'llah! Ini kuburan laki- laki, yang memberi makanan karena makanan dan yang menghilangkan yang berat dari Abi Quhafah (ayah Abubakar r.a.). Lalu Abubakar r.a. menjawab: "Dikatakan kepadaku oleh si ini, wahai Rasulu'llah, dengan perkataan seperti ini".

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
44

Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berkata kepada 'Amr bin Sa'id: "Cegahlah dirimu dari Abubakar!" Lalu 'Amr bin Sa'id itu pergi. Kemudian Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menghadapkan wajahnya kepada Abubakar, seraya bersabda: "Hai Abubakar! Apabila kamu menyebut orang-orang ka­fir, maka sebutlah secara umum! Sesungguhnya apabila kamu khususkan, niscaya marahlah anak-anak mereka karena bapak-bapaknya". (1). Lalu Abubakar melarang manusia dari yang demikian.

Adalah Nu'aiman An-Naj jari meminum khamar. Lalu dihukum dengan pu- kulan (hadd) berkali-kali pada majlis Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Maka sebahagian shahabat berkata: "Kiranya dia itu dikutuk oleh Allah Ta'ala! Alangkah ba- nyaknya yang dilakukan kepadanya". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab:
لا تكن عونا للشيطان على أخيك
(Laa takun aunan Iisysyaithaani 'alaa akhiika).
Artinya: "Janganlah engkau itu penolong setan terhadap saudara engkau".(2).

Dan pada suatu riwayat: "Jangan engkau katakan perkataan tersebut! Karena dia mencintai Allah dan RasulNya". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . me­larang shahabat itu dari yang demikian. Dan ini menunjukkan, bahwa mengutuk diri orang fasik itu tidak diperbolehkan.

Kesimpulannya, bahwa pada mengutuki orang-orang itu bahaya. Maka hen­daklah dijauhkan! Dan tiada bahaya pada berdiam diri daripada mengutuki Iblis-umpamanya. Apalagi mengutuki lainnya.

Kalau orang bertanya, bolehkan mengutuk Yazid (Yazid bin Mu'awiyah)? Karena ia pembunuh Saidina Husain (putera Saidina Ali r.a. dan cucu Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم .) atau yang menyuruh membunuhnya. Kami jawab, bahwa itu tidak terbukti sama sekali. Maka tidak boleh dika­takan, bahwa Yazid membunuh Husain atau menyuruh membunuhnya, se­belum terbukti. Lebih-lebih mengutuknya. Karena tidak boleh disangkutkan seorang muslim kepada dosa besar, tanpa dalil yang menguatkan (tahqiq). Benar, boleh dikatakan, bahwa Ibnu Muljam membunuh Ali. Dan Abu Lu'- luah membunuh Umar r.a. Karena yang demikian itu telah terbukti dengan berita yang mutawatir (berita dari orang banyak yang meyakinkan). Maka tidak boleh dituduh seorang muslim dengan fasik atau kufur, tanpa pembuk- tian yang meyakinkan. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tidaklah seorang menuduh seseorang dengan kufur dan tidak menuduhnya dengan fasik, kecuali ia kem­bali kepadanya, jikalau temannya (orang itu) tidak demikian".(3). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tidaklah seseorang naik saksi terhadap orang lain dengan kekufuran, melainkan salah seorang dari keduanya mengembalikan- nya dengan kekufuran, jikalau dia itu kafir". Maka itu, seperti yang disab-

(1)   Dirawikan Abu Dawud dari Ali bin Rabi'ah.
(2)  Dirawikan Ibnu Abdul-bar dari Az-Zubair bin Bakfear.
(3)  Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar.
45

Maka itu, seperti yang disabdakan Nabi صلى الله عليه وسلم . (pada hadits lain): "Dan jikalau ia bukan kafir, maka ia telah menjadi kafir, dengan mengkafirkan orang itu".(l). Ini artinya, bahwa ia mengkafirkan orang, sedang ia tahu, bahwa orang itu muslim. Jikalau ia menyangka, bahwa orang itu kafir, disebabkan perbuatan bid'ah atau lainnya, niscaya dia itu bersalah. Tidak menjadi kafir. Mu'adz bin Jabal r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  bersabda kepadaku:
أنهاك أن تشتم مسلما أو تعصي إماما عادلا والتعرض للأموات أشد
(Anhaaka an tasytuma musliman au ta'-shia imaaman 'aadilaa). Artinya: "Aku larang engkau memaki orang muslim atau engkau mendur- hakai imam yang adil (penguasa yang adi!)".(2).

Dan mendatangkan tuduhan kepada orang-orang yang sudah mati itu lebih berat lagi.

Masruq bin Al-Ajda' berkata: "Aku masuk ketempat 'Aisyah r.a., lalu ia bertanya: "Apakah yang diperbuat si Anu? Kiranya ia dikutuk oleh Allah". Aku menjawab: "la sudah mati". Maka ? Aisyah r.a. menyambung: "Ki­ranya ia dicurahkan rahmat oleh Allah". Lalu aku bertanya: "Bagaimana maka begitu?". 'Aisyah r.a. menjawab: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا
(Laa tasabbul-amwaata, fa innahum qad af-dlau ilaa maa qaddamuu). Artinya: "Jangan engkau memaki orang-orang yang sudah mati! Karena me­reka telah membawa, menurut apa yang dikerjakan mereka".(3). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Jangan engkau memaki orang-orang yang sudah mati! Maka dengan itu, engkau menyakiti orang-orang yang masih hidup".(4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:Artinya: "Hai manusia! Jagalah aku, tentang shahabat-shahabatku, saudara- saudaraku dan ipar-iparku! Janganlah engkau memaki mereka! Hai manu­sia! Apabila orang sudah mati, maka sebutlah yang baik daripadanya!".(5).

(1)    Dirawikan Abu Mansur Ad-Dailami dari Abu Said, dengan sanad dla'if.
(2)   Dirawikan Abu Na'im dari Muadz, dalam suatu hadits panjang.
(3)   Dirawikan Al-Bukhari dari 'Aisyah r.a.
(4)   Dirawikan At-Tbnidzi dari Al-Mughirah bin Syu'bah, perawi-perawinya di-percaya.
(5)   Dirawikan Abu Mansur Ad-Dailami dari 'Ayyadl Al-Anshari, isnad dla'if.
46

Kalau orang bertanya, bolehkah dikatakan, bahwa pembunuh Husain itu ki­ranya dikutuk oleh Allah?. Atau yang menyuruh membunuhnya, kiranya di­kutuk oleh Allah?.

Kami menjawab, bahwa yang benar untuk dikatakan, ialah: pembunuh Hu­sain itu jika mati ia sebelum bertobat, kiranya ia dikutuk oleh Allah. Karena mungkin pembunuh itu mati sesudah bertobat. Bahwa Wahsyi bin Harb pembunuh Hamzah paman Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . (pada perang Uhud), dimana ia membunuhnya dan waktu itu ia masih kafir. Kemudian, ia bertobat dari sekalian, dari kekufuran dan pembunuhan. Dan tidak boleh ia dikutuk. (1). Membunuh itu dosa besar. Dan tidak sampai kepada tingkat kufur. Maka apabila tidak disangkutkan dengan tobat dan disebut secara mutlak (umum) saja, niscaya padanya bahaya. Dan tidaklah pada didiamkan itu bahaya. Maka diam itu adalah lebih utama.

Sesungguhnya kami kemukakan ini, adalah dikarenakan manusia meman- dang enteng mengutuk itu. Dan lidah dilepaskan begitu saja untuk mengu­tuk. Dan orang mu'min itu tidaklah pengutuk. Maka tidak sayogialah lidah itu dilepaskan dengan mengutuk. Kecuali atas orang yang mati diatas keku­furan atau atas golongan-golongan yang terkenal dengan sifat-sifatnya. Ti­dak atas orang-orang tertentu. Maka menyibukkan diri dengan berzikir ke­pada Allah Ta'ala itu lebih utama. Kalau tidak maka berdiam diri itu lebih selamat.

Makki bin Ibrahim berkata: "Pada suatu hari kami berada pada Ibnu ' Aun. Lalu mereka menyebutkan Bilal bin Abi Burdah (amir negeri Basarah). Mereka mengutukinya dan mereka terjerumus dengan memaki dan men- cacinya. Dan Ibnu 'Aun itu diam. Lalu mereka berkata: "Hai Ibnu 'Aun! Se­sungguhnya kami menyebutkan Bilal bin Abi Burdah itu, karena ia berbuat dosa terhadap engkau". Maka Ibnu 'Aun menjawab: "Sesungguhnya itu dua perkataan yang akan keluar dari suratan amalanku pada hari kiamat. Yaitu: Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan yang disembah selain Allah) dan La'anal- Ictahu fulaanan (Dikutuk oleh Allah kiranya si Anu). Aku lebih suka supaya keluar dari suratan amalanku: Laa ilaaha illaallah, daripada akan keluar: La'anal-laahu fulaanan

Seorang laki-laki berkata kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .: "Berilah aku wasiat (nasehat)!". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Aku wasiatkan kepadamu, bahwa kamu tidak mengutuk orang" (2).

Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya orang yang sangat dimarahi Allah, ia­lah: tiap-tiap orang yang mencela, lagi mengutuk orang". Setengah mereka berkata: "Mengutuk orang mu'min itu menyamai dengan membunuhnya". Hammad bin Zaid berkata sesudah meriwayatkan ucapan ini: "Jikalau engkau katakan, bahwa ucapan tadi itu hadits marfu', niscaya aku tiada akan memperdulikannya".


(1)  Wahsy itu kemudian memeluk agama Islam dan bagus keislamannya. Dialah yang mem­bunuh Musailamah Al-Kazzab (nabi palsu) pada masa Khalifah Abubakar Ash-shiddiq r.a.
(2)  Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dan ada dalam isnadnya, orang yang tidak disebut- kan namanya.
47

Dari Abi Qatadah, yang berkata: "Ada dikatakan: "Barangsiapa mengutuk orang mu'min maka dia adalah seperti membunuhnya". Ucapan ini dinukilkan sebagai hadits marfu' kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . (hadits yang ditingkatkan sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., walaupun diantara perawinya, ada yang terputus, yang tiada diketahui).

Dan mendekati dengan mengutuk, ialah: berdoa terhadap manusia dengan tidak baik (jahat), sehingga berdoa terhadap orang zalim sekalipun. Seperti orang mengatakan umpamanya: "Kiranya Allah tidak menyehatkan tubuhnya dan kiranya Allah tidak menyelamatkannya". Dan kata-kata lain yang seperti itu.

Maka yang demikian itu tercela. Dan pada hadits, tersebut: "Sesungguhnya orang yang teraniaya berdoa terhadap orang yang menganiayainya, sehingga menyamai pada penganiayaan. Kemudian, tinggallah bagi orang yang me- nganiaya, pada orang yang teraniaya, kelebihan pada hari kiamat".(1).


BAHAYA KESEMBILAN: nyanyian dan syair.

Telah kami sebutkan pada "Kitab Mendengar", apa yang diharamkan dari nyanyian dan apa yang dihalalkan. Maka tiada kami mengulanginya lagi. Adapun syair, maka adalah perkataan, yang baiknya itu baik dan yang bu ruknya itu buruk. Hanya bersungguh-sungguh untuk bersyair itu tercela.
Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
لأن يمتليء جوف أحدكم قيحا حتى يريه خير له من أن يمتليء شعرا
(Li-an-yamtali-a jaufu aha-dikum qaihan hattaa yariahu khairun lahu min an-yamtalUa syi'ran).
Artinya: "Bahwa penuhnya rongga seseorang kamu dengan nanah, sehing­ga membusukkannya, adalah lebih baik daripada penuhnya rongga itu de­ngan syair". (2). Hadits ini disepakati Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.

Dari Masruq bin Al-Ajda', bahwa ia ditanyakan tentang sekuntum syair, lalu tiada disukainya. Maka dikatakan kepadanya tentang yang demikian itu. La­lu ia menjawab: "Aku tiada suka dijumpai syair dalam lembaran amalku (pada hari kiamat)".

Sebahagian mereka ditanyakan tentang sesuatu mengenai syair, lalu men­jawab: "Jadikanlah tempat syair itu untuk zikir. Sesungguhnya zikir kepada Allah lebih baik daripada syair".

(1)  Menurut Ai-Iraqi, dia. tidak pernah menjumpai hadits ini.
(2)  Hadits ini disepakati Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
48

Kesimpulannya, menyanyikan syair dan menyusunnya itu tidak haram, apa­bila tak ada padanya perkataan yang dimakruhkan (pada Agama).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن من الشعر لحكمة
(Inna minasy-syi'ri lahikmah)-
Artinya: "Sesungguhnya dari syair itu ada hikmah".(l). Benar, yang dimaksudkan dari syair itu pujian, celaan dan kemuda-mudian. Dan kadang-kadang dimasuki bohong.

Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menyuruh Hassan bin Tsabit AI-Anshari menyerang orang-orang kafir.(2). Dan berluas-luasan pada pujian, walaupun dia itu bohong. Maka sesungguh­nya tiada berhubungan pada pengharaman itu dengan bohong. Seperti kata seorang penyair:-

Ini adalah ibarat menyifatkan kesangatan sifat pemurah. Jikalau orangnya i tu tidak pemurah, maka penyair itu bohong. Dan jikalau ia pemurah, maka berlebih-lebihan membuat syair tersebut. Maka tidaklah dimaksudkan untuk diyakini bentuknya.

Telah dinyanyikan beberapa kuntum syair dihadapan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Dan kalau diikuti, niscaya akan didapati padanya seperti yang demikian. Tetapi Rasulu'llah tidak melarangnya.

'Aisyah r.a. berkata: "Adalah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . memperbaiki kulit sandalnya dan aku duduk memintal bulu. Lalu memandang kepadanya. Maka membuat tepi dahinya berkeringat. Dan membuat keringatnya menjadi nur (bersinar)".

'Aisyah meneruskan riwayatnya: "Maka aku tercengang. Lalu ia meman­dang kepadaku. seraya bersabda: "Mengapa engkau tercengang?". Lalu aku menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Aku memandang kepadamu, lalu membuat tepi dahimu berkeringat dan membuat keringatmu menjadi nur. Dan jikalau engkau dilihat oleh Abu Kabir Al-Huzali, niscaya ia tahu, bahwa engkau le­bih berhak dengan syairnya".

Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya: "Apakah yang dikatakan, wahai 'Aisyah, oleh Abu Kabir Al-Huzali?".
Aku menjawab: "Ia akan mengatakan dua bait ini:-

(1)
Hadits ini telah diterangkan dahulu, pada "Kitab Umu.
(2)
Hadits ini disepakati Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Al-Barra'.
49



Dan kalau dalam tapak tangannya,
tak ada selain nyawanya,
sungguh ia bermurah hati menyerahkannya.
Maka bertaqwalah kepada Allah yang memintakannya!
Terlepas dari semua
sisa darah kotor wanita
dan kerusakan wanita penyusu
dan penyakit wanita yang menyusukan sedang hamil.
Apabila engkau memandang
kepada garisLgaris yang kelihatan pada dahinya,
niscaya ia berkilat,
seperti kilatnya awan hujan gerimis.

'Aisyah r.a. meneruskan riwayatnya: "Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . meletakkan apa yang ada pada tangannya. Dan beliau bangun datang kepadaku dan be­liau peluk diantara dua mataku, seraya bersabda: "Kiranya Allah memberi balasan kepada engkau dengan kebajikan, wahai 'Aisyah! Tiadalah engkau memperoleh kegembiraan daripadaku, seperti gembiranya aku daripada engkau" (1).

Sewaktu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . membagi harta rampasan perang pada hari pe- rang Hunain, lalu beliau suruh untuk diberikan kepada Abbas bin Murdas empat ekor unta betina. Abbas bin Mardas menolak, lalu mengadu dalam syaimya. Dan pada akhir syair itu, sebagai berikut:

Tidaklah si Badar dan si Habis, lebih tinggi dari Mardas dalam masyarakat. Tidaklah aku manusia yang kurang dari keduanya. Apa yang engkau rendahkan pada hari ini, Tidak akan terangkat lagi

Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Potonglah dari perintahku, akan lidahnya!". Maka pergilah Abubakar Ash-Shiddiq r.a. dengan Abbas bin Mardas dan deberikannya kepada Abbas seratus ekor unta. Kemudian, Abbas itu kembali dan dia termasuk manusia yang paling disukai. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bertanya: "Adakah engkau menyusun lagi syair terhadap aku?". Lalu Abbas bin Mardas meminta ma'af pada Rasulu'llah saw., seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya aku memperoleh syair itu berjalan pada lidahku, seperti berjalannya semut. Kemudian, ia menggigit aku seperti menggigitnya semut. Maka aku tiada mendapat jalan untuk tidak bersyair".

Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . tersenyum, seraya bersabda: "Orang Arab itu tiada akan meninggalkan syair, sehingga unta meninggalkan suaranya yang berdenting" (2).

(1)   Dirawikan Al-Baihaqi dari 'A isyah r.a.
(2)  Hadits ini diriwayatkan Muslim dari Rafi bin Khudaij. Dan menurut riwayat, Rasulu'llah memberikan kepada Abu Sufyan, Safwan bin Ummyah, Uyaynah bin Hashn (Badar) dan Aqra' bin Habis (Habis), masing-masing 100 ekor-unta. Tetapi untuk Abbas bin Mardus kurang dari itu. Kemudian barn diberikan 100 ekor.
50

BAHAYA KESEPULUH: senda-gurau.

Asalnya senda-gurau itu tercela dan terlarang, kecuali sekedar sedikit yang dapat dikecualikan. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
لا تمار أخاك ولا تمازحه
(Laa turn aari akhaaka wa laa tumazih-hu)
Artinya: "Jangan engkau berbantahan dan bergurau dengan saudaramu!". Jikalau anda berkata, bahwa berbantah-bantahan itu menyakitkan. Karena padanya pembohongan kepada saudara dan teman atau pembodohan kepa­danya. Sedang senda-gurau, adalah berbaik-baikan. Dan padanya kelapangan dada dan kebaikan hati. Maka mengapa dilarang? Ketahuilah kiranya, bahwa yang dilarang itu berlebih-lebihan atau berke- kalan bergurau. Adapun berkekalan, karena ia menghabiskan waktu dengan bermain dan bergurau. Dan bermain itu dibolehkan. Akan tetapi rajin ber main itu tercela.

Adapun berlebih-lebihan pada bergurau, maka akan mempusakai banyak tertawa. Dan banyak tertawa itu mematikan hati dan mewarisi kedengkian pada setengah keadaan. Dan meniatuhkan kehebatan diri dan kemuliaan. Dan apa yang teriepas dari hal-hal tersebut, maka tidak tercela, sebagaimana dirawikan dari Nabi صلى الله عليه وسلم ., bahwa beliau bersabda:
إني لأمزح ولا أقول إلا حقا
(In nii la-amzahu wa laa aquulu illaa haqqaa).
Artinya: "Sesungguhnya aku bersenda-gurau dan aku tiada mengatakan, se­lain yang benar". (1).

Hanya orang yang seperti Nabi صلى الله عليه وسلم . yang sanggup bergurau dan tidak ber­kata selain yang benar. Adapun yang lainnya, apabila ia membuka pintu ber­gurau, niscaya adalah maksudnya mentertawakan orang, bagaimanapun adanya.

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan suatu perkataan untuk mentertawakan teman-teman duduknya, akan jatuh dalam api neraka, lebih jauh dari bintang surayya". Umar r.a. berkata: "Barangsiapa banyak tertawanya, niscaya kurang haibahnya (kurang disegani). Barangsiapa bergurau, niscaya ia dianggap ringan. Barangsiapa memperbanyakkan sesuatu, niscaya menjadi terkenal dengan se­suatu itu. Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak jatuhnya (jatuh dalam kebohongan). Barangsiapa banyak jatuhnya, niscaya kurang malunya. Barangsiapa kurang malunya, niscaya kurang wara'nya. Dan barangsi- apa kurang wara'nya, niscaya mati hatinya". Dan karena tertawa itu menun- jukkan kepada kelalaian dari akhirat.

(1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abi Hurairah.
51


Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
لو تعلمون ما أعلم لبكيتم كثيرا ولضحكتم قليلا
(Lau ta'lamuuna maa a'lamu, labakaitum katsiiranwaladlahaktum qaliilaa).
Artinya: "Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu menangis ba­nyak dan kamu tertawa sedikit".(l).

Seorang laki-laki bertanya kepada saudaranya (dimana ia melihat sedang ter­tawa): "Hai saudaraku! Adakah datang berita kepadamu, bahwa engkau a- kan datang keneraka?". Saudaranya itu menjawab: "Ya, ada!". Laki-laki itu menyambung pertanyaannya: "Adakah datang kepadamu berita, bahwa engkau akan keluar dari neraka?". Saudaranya itu menjawab: "Tidak!". La­lu laki-laki itu menyambung pertanyaannya: "Maka pada apakah tertawa itu?" Ada orang mengatakan, bahwa orang itu tidak terlihat lagi tertawa, sampai ia mati.

Yusuf bin Asbath berkata: "Al-Hasan Al-Bashri menetap selama tigapuluh tahun tidak tertawa". Dan orang mengatakan, bahwa 'Atha' As-Salmi mene­tap selama empatpuluh tahun tidak tertawa. Wahib bin Al-Ward melihat suatu kaum tertawa pada hari raya idul-fitri. Lalu beliau berkata: "Jikalau mereka telah diampuni dosanya, maka tidaklah ini perbuatan orang-orang yang bersyukur. Jikalau mereka tidak diampuni, maka tidaklah ini perbu­atan orang-orang yang takut".

Adalah Abdullah bin Abi Yu'la berkata: "Adakah engkau tertawa? Mudah- mudahan kain kafan engkau keluar dari pihak yang pendek".

Ibnu Abbas berkata: "Barangsiapa berdosa dengan suatu dosa dan ia ter­tawa, niscaya ia masuk neraka dan ia menangis".
Muhammad bin Wasi' berkata: "Apabila engkau melihat seseorang dalam sorga menangis, adakah engkau tidak heran dari tangisannya itu?". Lalu ada yang menjawab: "Ya!".

Maka Muhammad bin Wasi* menyambung: "Orang yang tertawa didunia dan ia tidak tahu, kepada apa ia akan terjadi, adalah orang yang paling diherankan dari yang tadi".

Maka inilah bahaya tertawa! Orang yang tercela pada tertawa, ialah orang yang menghabiskan waktunya buat tertawa. Dan yang terpuji pada tertawa, ialah tersenyum, yang terbuka giginya pada tertawa dan tiada terdengar suaranya.

Begitulah adanya tertawa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .!
Al-Qasim bekas budak (maula) Mu'awiyah bin Abi Sufyan berkata: "Se­orang Arab badui datang, menghadap Nabi صلى الله عليه وسلم . dengan mengendarai ku- danya yang panjang kakinya dan sukar dikendalikan. Lalu ia memberi

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas .dan 'Aisyah r.a.
52


salam. Kemudian, setiap kali ia ingin mendekatiNabi صلى الله عليه وسلم . untuk bertanya, tetapi kuda itu lari (tidak mau mendekatinya). Maka para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم . tertawa melihat yang demikian. Orang badui tadi berbuat demikian berkali-kali. Kemudian, ia menjatuhkan kepalanya kebawah, lalu ia terbu- nuh (mati) dengan sebab yang demikian. Maka ada yang berkata kepada Na­bi صلى الله عليه وسلم .: "Wahai Rasulu'llah! Bahwa orang Arab badui itu telah dijatuhkan oleh untanya dan sudah binasa (meninggal)".
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab:

 (Na'ain, wa afwaahu-kum mal-aa min damih). Artinya: "Ya! Mulutmu penuh dari darahnya".(l). Adapun bergurau itu membawa kepada hilang kehormatan diri, maka Umar r.a. telah berkata: "Barangsiapa bergurau, niscaya ia menjadi ringan (ku­rang dihargai orang) disebabkan bergurau itu".

Muhammad bin Al-Munkadir berkata: "Ibuku berkata kepadaku: "Hai anakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan anak-anak, maka hinalah eng­kau pada mereka".

Said bin Al-'Ash berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau bersenda gurau dengan orang yang mulia, maka ia sakit hati kepada engkau (tersinggung)! Dan janganlah dengan orang yang rendah (orang hina), maka ia berani kepada engkau!".

'Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah dari bergurau! Karena mewarisi sakit hati dan menghela kepada kekejian. Berbicaralah mengenai Al-Qur-an dan duduk-duduklah memperkatakan AlQur-an!. Kalau itu berat padamu, maka perkataan yang baik dari perkataan orang-orang yang terkemuka.

Umar r.a. berkata: "Tahukah kamu, mengapa dinamakan senda-gurau (al- muzaah) dengan kata-kata: al-muzaah?" (al-muzaah itu asal artinya: alih). Mereka itu menjawab: "Tidak!".

Maka Umar r.a. menjawab: "Karena senda-gurau (almuzaah) itu, menga- lihkan orang yang bergurau dari kebenaran".

Ada yang mengatakan, bahwa tiap sesuatu itu mempunyai bibit. Dan bibit permusuhan, ialah: senda-gurau.
Ada pula yang mengatakan, bahwa bergurau itu menghilangkan pikiran dan memutuskan hubungan dengan teman-teman.
Jikalau anda berkata, bahwa bergurau itu dinukilkan dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan para sahabatnya. Maka bagaimanakah dilarang daripadanya? Aku menjawab: "Jikalau anda sanggup menurut yang disanggupi Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan para shahabatnya, yaitu; bahwa anda bergurau dan anda tidak mengatakan, selain yang benar. Anda tidak menyakiti hati orang dan tidak

(1) Dirawikan Ibnu-Mubarak, hadits mursal.
53

berlebih-lebihan pada bergurau. Dan anda ringkaskan bergurau itu kadang- kadang dengan sedikit sekati. Maka dengan demikian, anda tidak berdosa Tetapi termasuk kesalahan besar, bahwa manusia mengambil bergurau itu menjadi pekerjaan yang selalu dikerjakannya. Dan ia berlebih-lebihan pa­danya. Kemudian (ia berkata), bahwa ia berpegang dengan perbuatan Rasul صلى الله عليه وسلم . Orang itu samalah halnya dengan orang yang berkeliling pada siang harinya bersama orang-orang Zanji (orang berkulit hitam), yang melihat ke­pada mereka dan kepada tari tarian mereka. Lalu (ia berkata), bahwa ia ber­pegang, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . memberi izin kepada Aisyah melihat tarian orang Zanji pada hari raya.

Pendapat yang demikian itu salah. Karena dari dosa kecil itu, ada yang akan menjadi dosa besar, dengan berkekalan memperbuatnya. Dan dari perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (mubah) itu, ada yang akan men jadi dosa kecil dengan berkekalan dikerjakan. Maka tiada sayogialah dilupakan dari yang demikian!
Benar, Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa mereka (para sahabat) berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya engkau bermain-main (bergurau) de­ngan kami".

Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab:
إني وإن داعبتكم فلا أقول إلا حقا
(Inniiwa in daa- 'abtukum, laa aquulu ilia haqqaa).
Artinya: "Sesungguhnya aku, walaupun aku bersenda-gurau dengan kamu, tetapi aku tiada berkata, selain yang benar".(1)

'Atha' berkata, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas: "Adakah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bergurau?" Ibnu Abbas menjawab: "Ada!". Orang tadi bertanya lagi: "Apakah guraunya itu?".
Ibnu Abbas menjawab: "Guraunya ialah, bahwa pada suatu hari, Nabi صلى الله عليه وسلم . memberi pakaian kepada salah seorang istrinya, kain yang lapang. Lalu beliau bersabda kepada istrinya itu: "Pakailah, pujilah Allah dan ta- riklah daripadanya kaki kain, seperti kaki kainnya penganten!".(2). Anas berkata, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . adalah,paling banyak bergurau dengan is­trinya. Dan diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . banyak tersenyum. Dari Al-Hasan Al-Bashari, yang mengatakan: "Seorang wanita tua datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepadanya: "Tidak masuk sorga wanita tua". Lalu wanita itu menangis. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Engkau pada hari itu tidak wanita tua lagi"(3). Allah Ta'ala berfirman:-

Dirawikan AtTirmizi dari Abu Hurairah dan dipandangnya hadits hasan.
Kata AHraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.
Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibmil-J dari Anas, dengan sanad dla'if.

إنا أنشأناهن إنشاء فجعلناهن أبكارا
(Innaa ansya'naahumia insyaa-an wa ja'alnaahunna abkaaraa). Artinya: "Sesungguhnya (gadis-gadis itu) Kami jadikan dengan kejadian (yang istimewa). Dan mereka kami jadikan perawan suci'S. Al-waq i' ah, a- yat 35-36.
Zaid bin Aslam berkata: "Bahwa seorang wanita, yang dikatakan namanya: Ummu Aiman, datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم .. Maka ia berkata: "Bahwa sua- miku mengundang engkau".
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya: "Siapakah dia? Adakah dia yang pada matanya putih?". Wanita itu menjawab: "Demi Allah, tiada putih pada matanya". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Ada! Sesungguhnya ada putih pada matanya". Wanita itu berkata: "Tidak demi Allah!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiada seorang pun yang tidak ada putih pada matanya".(1). Nabi صلى الله عليه وسلم . bermaksud: putih yang mengelilingi mata hitam.

Seorang wanita lain datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . seraya berkata: "Wahai Ra­sulu'llah! Bawalah aku diatas unta!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Tetapi kami akan membawa engkau diatas anak unta". Wanita itu lalu menyahut: "Apa yang akan aku perbuat dengan anak unta itu?. Ia tiada sanggup mem­bawa aku". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiadalah unta itu melainkan ada­lah anak unta".(2). Nabi صلى الله عليه وسلم . adalah bergurau dengan yang demikian. Anas berkata: "Bahwa Abi Thalhah mempunyai seorang anak laki-laki, na­manya: Abu Umair. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . datang kepada mereka, seraya ber­sabda: "Hai Abu Umair! Apa kabar nughair?". Karena nughair itu adalah burung yang dimain-mainkanny a. Nughair, ialah: anak burung pipit. (3). 'A isyah r.a. berkata: "Aku pergi bersama Rasulu'liah صلى الله عليه وسلم . pada perang Badar. Maka beliau bersabda: "Mariiah, sehingga aku mendahului eng­kau!". Lalu aku ikatkan baju besiku pada perutku. Kemudian, kami garis- kan suatu garis. Lalu kami berdiri diatas garis itu. Dan kami dahulu men­dahului. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini tempat, Dzii-Majaz namanya". Yang demikian itu, ialah, bahwa pada suatu hari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . datang dan kami berada di Dzil-Majaz. Dan aku waktu itu masih budak kecil. Diutus oleh 2yahku membawa sesuatu. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Berilah itu kepadaku!". Aku tidak mau memberinya dan aku terns berjalan. Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berjalan dibelakangku Tetapi ia ti­dak dapat menjumpai aku".(4).


(1)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abdah bin Saham Al-Fahri. Hadits ini diperselisihkan.
(2) Dirawikan Abu Daud dan At-Tirmizi dari Anas, hadits shahih.
(3) Dirawikan Ai-Bukhari dan Muslim dari Anas. Dan Abu Umair itu adalah saudara Anas seibu, mempunyai burung nughair tersebut yang sangat disayanginya. Lalu burung itu mati. Maka amat gundahlah hati Abu Umair, lalu dihiburkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . dengan kata-kata tadi.
(4) Menurut Al-Iraqi, beliau tidak pernah menjumpai hadits tersebut. Dan Aisyah itu tidak turut pada perang Badar.
55

'A isyah r.a. berkata pula: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dahulu-mendahului dengan aku. Lalu aku mendahuluinya. Tatkala aku membawa daging, ia dahulu mendahului dengan aku. Lalu ia mendahului aku. Dan bersabda: "Ini dengan yang itu".

'Aisyah r.a. berkata pula: "Adalah padaku, Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan Saudah. binti Zam'ah.(l). Lalu aku membuat harirah (tepung yang dibuat dengan susu): Aku bawa makanan tersebut, seraya aku berkata kepada Saudah: "Makanlah!". Lalu Saudah menjawab: "Aku tidak suka". Maka aku ja­wab: "Demi Allah, engkau makan atau aku lumurkan muka engkau dengan makanan ini". Saudah menjawab: "Aku tidak akan mencicipinya". Lalu aku ambil dengan tanganku sedikit dari makanan itu dari piring. Maka aku lumurkan mukanya. Dan Rasulu'llah duduk diantara aku dan dia. Lalu Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . merendahkan kedua lututnya, supaya Saudah tercegah da- ripadaku. Lalu aku ambil sedikit dari isi piring itu. Dan aku sapu mukaku dengan dia. Dan membuat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . tertawa".(2). Diriwayatkan, bahwa Adl-Dlahhak bin Sufyan Al-Kallabi adalah seorang yang pendek dan buruk bentuknya. Ketika ia diangkat dengan sumpah (di- bai'ah) oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . menjadi kepala dari kaumnya yang sudah memeluk Agama Islam, lalu ia berkata: "Sesungguhnya padaku ada dua orang wanita yang lebih cantik dari Al-Humaira (panggilan kepada 'Aisyah r.a.) ini". Peristiwa ini terjadi sebelum turunnya ayat-hijab. "Apakah aku bawakan salah seorang dari keduanya untuk engkau, lalu engkau kawini dia?". 'Aisyah duduk saja dengan tenang dan mendengar. Lalu bertanya: "Adakah wanita itu yang lebih cantik atau engkau?". Maka orang itu men­jawab: "Aku yang lebih cantik dan yang lebih mulia dari wanita itu". Maka tertawalah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dari pertanyaan 'Aisyah tadi kepada laki-laki itu. Karena laki-laki tersebut adalah seorang yang pendek dan buruk ben­tuknya". (3).

Diriwayatkan oleh 'Alqamah dari Abi Salmah, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . menge- luarkan lidahnya dari mulutnya untuk Hasan bin Ali r.a. (cucu Nabi صلى الله عليه وسلم .). Lalu anak kecil itu melihat lidah Nabi صلى الله عليه وسلم . dan ia amat bergern- bira. Lalu 'Uyainah bin Badar Al-Fazzari berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم .: "De­mi Allah, kiranya aku mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah kawin dan ia mengeluarkan mukanya dan aku sekali-kali tiada akan memeluk- nya".

Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن من لا يرحم لا يرحم
(Inna man laa yarhamu laa yurhamu).
(1) Saudah binti Sam'ah adalah salah seorang isteri. Nabi صلى الله عليه وسلم . yang dikawininya sestidah wafat Khadijah.
(2)   Dirawikan Abu Yu'la dengan isnad baik.
(3)   Dirawikan Az-Zubair bin Bakkar dari Abdullah bin Hasan, dan ini hadits mursai. Dari hadits ini dapat dilihat betapa demokrasinya Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dalam pergaulan dengan ummatnya dan malah tertawa.(Pany)
56

Artinya: "Sesungguhnya siapa yang tiada mencintai. niscaya tiada akan dicintai".(l).

Kebanyakan hal berbaik-baikan ini dinukilkan bersama kaum wanita dan anak-anak. Yang demikian itu merupakan obat dari Nabi صلى الله عليه وسلم ., karena kelemahan hati mereka, tanpa kecenderungan kepada bersenda-gurau. Pada suatu kali Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada Shuhaib dan ia sakit mata. Dan ia memakan tamar: "Adakah engkau memakan tamar, sedang engkau sakit mata?". Lalu Shuhaib menjawab: "Sesungguhnya aku memakannya dengan yang sebelah lagi, wahai Rasulu'llah!". Maka tersenyumlah Nabi صلى الله عليه وسلم . ".(2).

Setengah perawi hadits ini berkata: "Sehingga aku melihat gigi gerahamnya",

Diriwayatkan, bahwa "Khawwat bin Jubair AI-Anshari duduk bersama wa­nita suku Bani Ka'ab di jalan Makkah. Lalu dilihat oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., seraya menegur: "Hai Aba Abdillah! Ada apa engkau bersama wanita?". Khawwat, yang. dipanggil tadi dengan Aba Abdillah, lalu menjawab: "Me­reka memintal tali untaku, yang suka lari".

Khawwat berkata: "Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . terns pergi untuk keperluan- nya. Kemudian, beliau kembali lagi, seraya bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinva kemudian?". Khawwat berkata: "Lalu aku diam dan merasa malu Dan aku sesudah itu, selalu melarikan diri daripada Nabi صلى الله عليه وسلم . manakala melihainya, karena malu kepadanya. Sehingga aku datang di Madinah. Dan sesudah aku da­tang di Madinah - Khawwat menemskan ceriteranya - maka pada suatu ha­ri, Nabi صلى الله عليه وسلم . melihat aku mengerjakan shalat di masjid. Lalu beliau du­duk dekat aku. Maka aku panjangkan shalat. Lalu beliau bersabda: "Ja­ngan engkau panjangkan! Sesungguhnya aku menunggu engkau!". Sesudah aku memberi salam dari shalat, lalu beliau bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?". Khawwat menerangkan lebih lanjut: "Lalu aku diam dan aku merasa malu. Dan Rasulu'llah pun bangun berdiri. Dan adalah aku sesudah itu meiarikan diri daripadanya. Sehingga pada suatu hari, ia mengikuti aku dan ia me- ngendarai keledai. Dan kedua kakinya diletakkannya disatu pihak. Maka beliau bersabda: "Hai Aba Abdillah! Apakah. unta itu tidak meninggalkan larinya kemudian?", Lalu aku menjawab: "Demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran! Unta ttu tidak lari lagi semenjak aku raemeluk Agama Islam". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . mengucapkan: "Allah Akbar! Allahu Ak- bar! Wahai Allah, Tuhanku! Tunjukilah Aba Abdillah!".(3). Yang meriwayatkan peristiwa ini, meneruskan riwayatnya: "Maka baguslah

(1)   Dirawikan Abi Saimah dari Abi Hurairah.
(2)  Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan A!-Hakim dari Shuhaib.
(3)  Dirawikan Ath-Thabrani dari Zaid bin Aslam. Perawi-perawinya orang-orang yang dapat dipercayai.
57

Islamnya Khawwat itu. Dan ia ditunjuki oleh Allah dengan hidayahNya". Adalah Nu'aiman Al-Anshari seorang laki-laki yang suka bergurau. Ia mi- num khamar di Madinah. Lalu ia dibawa kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . Maka dipukul oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . dengan sandalnya. Dan beliau menyuruh para shahabat- nya. Lalu mereka memukulnya dengan sandalnya. Sewaktu telah banyak de­mikian, maka seorang diantara para shahabat itu berkata kepada Nu'aiman: "Kiranya engkau dikutuk oleh Allah!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada shahabat tersebut: "Jangan engkau berbuat demikian! Karena ia mencintai Allah dan RasulNya". (1).

Adalah Nu'aiman tersebut, apabila ia masuk ke kota Madinah dengan mu- dah perjalanan dan sekejap mata, ia membeli apa-apa daripadanya. Kemu­dian dibawanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Ini aku belikan untukmu dan aku hadiahkan kepadamu". Apabila yang puny a barang itu datang, meminta pada Nu'aiman harganya, lalu Nu'aiman datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., seraya berkata: "Wahai Rasu­lu'llah! Berilah kepada orang itu harga barangnya!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . men­jawab: "Apakah engkau tidak menghadiahkan barang itu kepada kami?". Nu'aiman tersebut menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya aku ti­dak mempunyai uang untuk membayar harganya. Dan aku ingin engkau makan barang tersebut".(2).
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . tertawa dan menyuruh shahabatnya membayar harga ba­rang itu.

Inilah kata-kata berbaik-baikan, yang diperbolehkan seperti itu secara sedi­kit. Tidak secara terus-terusan. Membiasakan kata-kata yang demikian, a- dalah senda-gurau yang tercela dan sebab bagi tertawa yang mematikan ha­ti

BAHAYA KESEBELAS: ejekan dan memperolok-olok
Perbuatan tersebut adalah diharamkan, manakala menyakitkan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:-
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang la­ki-laki merendahkan (menertawakan) kumpulan yang lain; boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan).

(1)   Dirawikan Al-Bukhari dari Umar.
(2)  Dirawikan Az-Zubair bin Bakkar. Dan dari jalan sanadnya, Ibnu Abdil-bar dari Muham­mad bin 'Amr bin Hazm, hadits mursal.
58
Dan jangan pula sekumpulan perempuan (merendahkan) kumpulan perempuan yang lain; boleh jadi (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka". -S.Al-Hu- jurat, ayat 11.

Arti mengejek, ialah: menghina, melecehkan dan memberi-tahukan sifat-si­fat yang memalukan dan kekurangan-kekurangan dengan cara yang men?- tertawakan. Yang demikian itu, kadang-kadang dengan meniru pada per­buatan dan perkataan. Dan kadang-kadang dengan isyarat dan tunjukan. Apabila ada yang demikian itu dihadapan orang yang diejek, niscaya tidak dinamakan: upatan. Tetapi mengandung arti upatan. 'Aisyah r.a. berkata
(Hakaitu ins a an an, fa qaala liyan-nabiyyu shalla'llaahu 'alaihi wa sallama:" Wa'llaahi, maa uhibbu annii haakaitu insaanan wa lii kadzaa wa kadzaa". Artinya: "Aku menceriterakan tentang seseorang, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersab­da kepadaku: "Demi Allah! Aku tidak suka menceriterakan tentang se­seorang, sedang aku mempunyai keadaan demikian-demikian".(l). Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah Ta'ala:-
(Yaa-wailatanaa maa li-haadzal-kitaabi laa yughaadiru shaghiiratan wa laa kabiiratan illaa ah-shaahaa).
Artinya: "Aduhai! Malangnya kami! Kitab apakah ini? Tidak ditinggalkannya perkara yang kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semu- anya".S.Al-Kahf, ayat 49: "bahwa yang kecil itu, ialah: tersenyum dengan memperolok-olokkan orang mu'min. Dan yang besar itu, ialah: tertawa terbahak-bahak dengan yang demikian".

Itu menunjukkan, bahwa tertawa kepada orang, termasuk dalam jumlah dosa kecil dan dosa besar.
Dari Abdullah bin Zam'ah, dimana ia berkata: "Aku mendengar Rasulu'­llah صلى الله عليه وسلم . dan beliau berkhutbah. Maka beliau menasehati mereka tentang tertawanya karena kentut.
Lalu beliau bertanya: "Berdasarkan apakah tertawanya salah seorang ka­mu; dari apa yang diperbuatnya?"(2).

(1)  Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari 'Aisyah dan dipandangnya shahih.
(2)  Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zam'ah.
59

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok­kan manusia itu, dibukakan pintu sorga bagi salah seorang mereka. Lalu dikatakan kepadanya: "Mari, marilah!". Lalu orang yang memperolok-o­lokkan itu datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Tatkala ia dating kepintu sorga itu, lalu pintu tersebut dikuncikan terhadap orang itu. Kemudian dibukakan lagi pintu lain untuknya. Lalu dikatakan kepadanya: "Man, marilah i". Lalu ia datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Tatkala ia dalang kepintu itu lalu pintu tersebut dikuncikan terhadap dia. Maka se- nantiasaiah seperti yang demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan kepadanya: "Man, marilah!". Maka ia tidak da­tang lagi ke pintu itu".(l).

Mu'adz bin Jabal berkata; "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:

- '^^i^C^J^Ctlx5 Js ji;
(Man 'ayyara akhaahu bi dzanbin qad taaba minhu, lam yamut hattaa ya'- malahu).
Artinya: "Barangsiapa memalukan saudaranya dengan dosa yang telah di tobatinya, niscaya ia tiada akan mati sebelum ia mengerjakan dosa itu".(2).

Semua ini kembali kepada menghina orang lain dan tertawa kepadanya, untuk menghinakan dan memandangnya kecil. Dan kepada itulah, firman Al­lah Ta'ala memperingatkan:-
من عير أخاه بذنب قد تاب منه لم يمت حتى يعمله
('Asaa an yakuunuu khairan minhum).
Artinya: "Boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan)".S.Al-Hujurat, ayat 11.Artinya: jangan engkau menghinakannya, karena memandangnya kecil. Boleh jadi, ia lebih baik daripada engkau.

Sesungguhnya perbuatan tersebut diharamkan, mengenai orang yang merasa sakit dengan perbuatan itu.
Adapun orang yang membuat dirinya terhina dan kadang-kadang ia ber- gembira dihinakan, niscaya adalah pengejekan mengenai dirinya itu, termasuk dalam jumlah senda-gurau. Dan telah diterangkan dahulu, apa yang tercela dan yang terpuji daripadanya.

Sesungguhnya yang diharamkan itu, pandangan kecil, yang menyakitkan orang yang dihinakan. Karena padanya penghinaan dan pelecehan. Dan yang demikian itu, kadang-kadang dengan ditertawakan pada perkataannya, apabila hilang tujuan pada perkataan itu dan tidak tersusun balk. Atau di tertawakan pada perbuatannya, apabila perbuatan itu kacau. Seperti terta­wa pada tulisannya dan pada perusahaannya. Atau ditertawakan pada ru panya-dan bentuknya, apabila ia pendek atau kurang karena sesuatu keku- rangan yang memalukan. Maka tertawa pada semua itu, termasuk pada pe­ngejekan yang dilarang

(1)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Al-Hasan dan ini hadits mursal.
(2)  Dirawikan At-Tirmidzi dan katanya: hadits ini hasan gharib.
60

BAHAYA KEDUABELAS: membuka rahasia.
Membuka rahasia itu dilarang. Karena padanya menyakitkan dan penghinaan akan hak orang yang dikenal dan teman-teman.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إذا حدث الرجل ثم التفت فهي أمانة حديث إذا
(Idzaa haddatsar-rajulul-ha-diitsa tsummal-tafata, fa hiya amaanah). Artinya: "Apabila seseorang berbicara sesuatu pembicaraan, kemudian ia pergi, maka itu adalah amanah"(l).

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Secara mutlak pembicaraan diantara sesama kamu itu amanah"(2).
Al-Hasan Al-Bishri r.a. berkata: "Sesungguhnya termasuk pengkhianatan, bahwa engkau membicarakan rahasia saudara engkau". Diriwayatkan, bahwa Mu'awiah r.a. merahasiakan suatu pembicaraan kepada Al-Walid bin 'Utbah. Lalu Al-Walid berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, bahwa Amirul-mu'ihinin merahasiakan suatu pembicaraan kepadaku. Aku tidak melihat, bahwa ia menutup kepada ayah, apa yang di- bentangkannya kepada orang lain". Maka menjawab ayah Al-Walid: "Ja­ngan engkau katakan kepadaku! Sesungguhnya orang yang menyembunyikan rahasianya, adalah pilihan kepadanya. Dan orang yang membuka rahasianya, adalah pilihan atas dirinya".

Al-Walid meneruskan ceritanya: "Lalu aku berkata: "Wahai ayahku! Se­sungguhnya ini termasuk urusan diantara orang dengan anaknya". Ayah Al-Walid ('Utbah) menjawab: "Demi Allah, tidak, wahai anakku! Akan tetapi, aku menyukai, bahwa engkau tidak menghinakan lidah eng­kau dengan pembicaraan-pembicaraan rahasia".

Al-Walid meneruskan ceriteranya: "Lalu aku datang kepada Mu'awiah, maka aku ceriterakan kepadanya. Lalu ia menjawab: "Hai Walid! Bapak- mu telah memerdekakan kamu dari perbudakan kesalahan". Maka membuka rahasia itu suatu pengkhianatan. Dan itu haram, apabila ada padanya mendatangkan melarat. Dan tercela, jikalau tak ada padanya melarat. Dan telah kami sebutkan apa yang menyangkut dengan menyem- bunyikan rahasia, pada "Kitab Adab Berteman". Maka tidak perlu lagi di ulangi.


(1)  Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Jabir dan dipandangnya: hasan.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu Syihab, hadits mursal.
61

BAHAYA KET1GABELAS: janji dusta.
Sesungguhnya lidah itu mendahului kepada janji. Kemudian, kadang-ka- dang jiwa tidak membolehkan agar janji itu ditepati. Lalu jadilah menyalahi janji. Dan yang demikian itu setengah dari tanda-tanda nifaq (tanda- tanda orang munafiq). Allah Ta'ala berfirman:-

(Yaa-ayyuhal-ladziina aamanuuaufuu bil-uquud).
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman! Tepatilah segala janji'.S.Al- Maidah, ayat 1.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Janji itu suatu pemberian".(l).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda;
الوأي مثل الدين أو أفضل
(Al-wa'yu mits-lu'd-daini au afdlalu).
Artinya: "Al-wa'yu itu seperti hutang atau lebih utama daripada hutang".(2).
=Al-wa'yu, artinya: janji.

Allah Ta'ala memuji nabiNya Ismail a.s. dalam KitabNya yang mulia. Ia berfirman:-
(Innahu kaana shaadiqal-wa'di).
Artinya: "Sesungguhnya dia (Nabi Ismail a.s.) adalah seorang yang membenari (memenuhi) janji".S.Maryam, ayat 54.

Dikatakan, bahwa nabi Ismail a.s. berjanji dengan seorang insan pada sua­tu tempat. Lalu orang tersebut tiada kembali ketempat tadi, karena lupa. Maka tinggallah nabi Ismail a.s.ditempat itu selama duapuluh dua hari menunggu kedatangannya.

Tatkala Abdullah bin Umar hampir wafat, lalu ia berkata: "Sesungguhnya seorang laki-laki dari suku Quraisy telah meminang anak-perempuanku. Dan sesungguhnya sudah menyerupai janji daripadaku kepadanya. Maka, demi Allah kiranya aku tidak menemui Allah dengan sepertiga nifaq. Aku saksikan kamu, bahwa aku telah mengawinkan anak-perempuanku dengan laki-laki itu".

Dari Abdullah bin Abil-Khansa', yang mengatakan: "Aku telah berjual-be li dengan Nabi صلى الله عليه وسلم . sebelum beliau diutus menjadi rasul Tuhan. Dan ma- sih ada sisa kepunyaannya padaku. Aku berjanji dengan dia, bahwa aku a kan datang membawa sisa itu ke tempatnya. Lalu aku lupa pada hari ter­sebut dan besoknya. Baru aku datang kepadanya pada hari ketiga dan be-

(1)   Dirawikan Ath-Thabrani dari Qubbats bin Usyaim, dengan sanad dla'if.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Kharaithi dari Al-Hasan, hadits mursal.
62

liau berada pada tempatnya itu. Lalu beliau bersabda: "Hai anak muda! Engkau sudah menyusahkan aku. Aku disini semenjak tiga hari yang lalu menunggu engkau".(1).

Ditanyakan kepada Ibrahim An-Nakha'i, tentang seseorang yang berjanji dengan seseorang. Lalu orang itu tidak datang. Ibrahim An-Nakha'i men­jawab: "Supaya ia menunggu, sampai masuk waktu shalat yang akan da­tang".

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . apabila berjanji dengan suatu janji, mengatakan: عسى "Asaa".(2).
Ibnu Mas'ud apabila berjanji dengan suatu janji, mengatakan: إن شاء الله "Insya Allah".(3).

Dan itu adalah lebih utama. Kemudian, apabila dipahami dari perkataan itu, akan keteguhan pada janji, maka tak boleh tidak harus ditepati, kecuali berhalangan. Jikalau waktu berjanji, sudah ada keteguhan tidak akan di­tepati, maka ini nifaq namanya.
Abu Hurairah berkata: "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
ثلاث من كن فيه فهو منافق وإن صام وصلى وزعم أنه مسلم إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا ائتمن خان
(Tsalaatsun man kunna fiihi fa huwa munaafiqun wa in shaama wa shallaa wa za'ama annahu muslimun: idzaa haddatsa kadzaba wa idzaa wa'ada akhlafa wa idza'tumina khaana).

Artinya: "Tiga perkara, barang siapa ada pada tiga perkara itu, maka dia itu orang munafiq, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendakwakan bahwa ia muslim. Yaitu: apabila berbicara, ia berdusta, apabila ber­janji, ia menyalahi janji dan apabila dipercayai, ia berkhianat".(4).

Abdullah bin 'Amr r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Empat per­kara, barangsiapa ada padanya, niscaya dia itu orang munafiq. Dan barang­siapa -ada padanya suatu sifat dari yang empat itu, niscaya ada padanya su­atu sifat dari nifaq, sehingga ditinggalkannya sifat tersebut. Yaitu: apabila berbicara, ia berdusta. Apabila berjanji, ia menyalahi janji. Apabila membuat suatu perjanjian, ia membelok. Dan apabila bermusuh-musuhan, ia menganiaya (zalim)".(5).

(1)  Dirawikan Abu Daud dan diperselisihkan tentang isnadnya.
(2)  'Asaa, artinya: mudah-mudahan. Hadits ini memirut Al-Iraqi-belum pernah dijumpai.
(3)  Insya Allah, artinya: Jika dikehendaki oleh Allah. Dalam Al-Qur-an, S.AI-Kahf, ayat'23- 24: "Dan janganlah engkau mengatakan dalam sesuatu hal: Bahwa aku akan mengerja­kan itu besok. Melainkan dengan alasan jika Allah menghendaki". Tetapi dalam masya- rakat Tcita, kata-kata Insya Allah itu,seakan-akanmenunjukkan kearah janji itu kurang kuat atau untuk tidak ditepati (Penyalin).
(4) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
(5)  Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin 'Amr.
63
Hadits ini ditempatkan terhadap orang yang berjanji dan ia bercita-cita menyalahi janji tersebut. Atau meninggalkan menepatinya tanpa ada halangan.

Adapun orang yang bercita-cita akan menepatinya, lalu datanglah halangan yang mencegahnya daripada menepatinya, niscaya ia tidak termasuk orang munafiq. Walaupun berlaku padanya bentuk nifaq. Akan tetapi sayogialah dijaga juga dari bentuk nifaq itu, sebagaimana dijaga dari hakikatnya. Dan tiada sayogianya menjadikan dirinya berhalangan, tanpa ada dlarurat (ke- adaan terpaksa) yang menghalanginya.

Diriwayatkan: "bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjanjikan seorang pembantu (khadim) kepada Abulhaitam bin At-Tayyihan. Lalu beliau, mendatangkan tiga orang tawanan perang. Maka diberinya dua orang dan tinggallah satu orang.Kemudian datanglah Fathimah r.a. meminta seorang pembantu dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Dan ia berkata: "Tidakkah ayahanda melihat bekas menggiling bumbu makanan pada tanganku?". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . lalu menyebut janjinya kepada Abulhaitsam, seraya bersabda: "Bagaimana de­ngan janjiku kepada Abulhaitsam?".(l).

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mendahulukan Abulhaitsam daripada Fathimah r.a. me­ngenai pembantu itu. Karena ia telah lebih dahulu berjanji kepada Abulhait­sam, sedang Fathimah r.a. menggiling bumbu makanan dengan tangannya yang lemah.

Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم . duduk membagi harta rampasan perang Hawazin di Hunain. Lalu berdirilah seorang laki-laki dari orang banyak dihadapan Na­bi صلى الله عليه وسلم . Orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah! Sesungguhnya ada jan- jimu untukku!".

Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Benar engkau! Engkau boleh memutuskan menurut kehendak engkau".
Orang itu lalu menjawab: "Aku memutuskan delapanpuluh domba betina dan penggembalanya".

Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Boleh itu untuk engkau". Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . menambahkan: "Engkau telah menetapkan hukum dengan mudah. Seorang wanita tua yang menemani Musa a.s., yang menunjukkan kepadanya tulang belulang Yusuf a.s., adalah lebih kokoh dan lebih banyak hukumnya da­ripada engkau, ketika ia diberi hak hukum (untuk memutuskan sesuatu) o- Ieh Nabi Musa a.s. Wanita itu lalu berkata: "Hukumku, ialah: bahwa eng­kau kembalikan aku muda dan masuk sorga bersama engkau".(2).

(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah.
(2)  Menurut riwayat, lalu Nabi Musa a.s. berdo'a kepada Allah, supaya. wanita itu muda kem- bali. Maka diterima oleh Allah do'anya. Dan wanita itu menjadi cantik kembali dan diteri- ma pula do'anya supaya wanita itu masuk sorga bersama Nabi Musa a.s. Maka wanita itu menunjukkan tempat tulang belulang Nabi Yusuf a.s. pada dasar sungai Nil. Lalu Nabi Musa a.s. meletakkan tongkatnya, maka terbelahlah air dan kelihatanlah petinya. Nabi Musa a.s. membawa peti itu ke-Baitul-maq-dis dan dikuburkan disana (Ittihaf, hal 509 jilid VII).
64

Dikatakan, lalu orang banyak tadi memandang- lemah apa yang diputuskan oleh orang laki-laki itu. Sehingga laki-laki tersebut dibuat menjadi pepatah, dimana dikatakan: Lebih kikir dari orang yang puny a delapanpuluh domba betina dan penggembalanya.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
ليس الخلف أن يعد الرجل الرجل وفي نيته أن يفي
(Laisal-khulfu an ja'idar-rajulur-rajula wa fii niyyatihi an yafia). Artinya: "Tidaklah menyalahi janji, bahwa seseorang berjanji dengan sese­orang dan pada niatnya akan menepatinya". Pada bunyi hadits yang lain, ialah:-
إذا وعد الرجل أخاه وفي نيته أن يفي فلم يجد فلا إثم عليه أخرجه أبو داود والترمذي وضعفه
(Idzaa wa'adar-rajulu akhaahu, wa fii niyyatihi an jafia, fa lam yajid, fa laa itsma 'alaih).
Artinya: "Apabila seseorang berjanji dengan saudaranya dan pada niatnya akan menepatinya, lalu tidak diperolehnya jalan, maka tidaklah dosa atas dirinya". (1).


BAHAYA KEEMPATBELAS: dusta pada perkataan dan sumpah.
Itu termasuk dosa yang paling buruk dan kekurangan yang paling keji. Is­mail bin Wasith berkata: "Aku mendengar Abubakar Ash-Shiddiq r.a. berkhutbah sesudah wafat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Beliau berkata: "Berdiri ditengah-tengah kami Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . pada tempat aku berdiri ini, ditahun pertama. Kemudian beliau menangis, dan seraya bersabda:
إياكم والكذب فإنه مع الفجور وهما في النا
(Iyyakum wal-kadziba, fa innahu ma'al-fujuuri wa humaa fin-naar). Artinya: "Awaslah berdusta! Sesungguhnya orang yang berdusta itu ber­sama orang yang zalim. Keduanya dalam neraka".(2). Abu Amamah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Bahwa dusta itu su­atu pintu dari pintu-pintu nifaq".(3).

Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Ada yang mengatakan, bahwa termasuk ni­faq, berbeda rahasia dan yang terang, berbeda perkataan dan perbuatan dan berbeda masuk dan keluar. Sesungguhnya pokok yang terbangun nifaq padanya, ialah: dusta".
(1)   Diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan didla'ifkannya, dari Zaid bin Arqam.
(2)  Diriwayatkan Ibnu Majah dan An-Nasa-i dari Abubakar Ash-Shiddiq, isnadnya baik.
(3)  Diriwayatkan Ibnu 'Adt dari Abu Amamah, dengan saijad dla'if.
65
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
كبرت خيانة أن تحدث أخاك حديثا هو لك به مصدق وأنت له به كاذب حديث كبرت خيانة أن تحدث أخاك حديثا هو لك به مصدق وأنت له به كاذب أخرجه البخاري في كتاب الأدب المفرد وأبو داود من حديث سفيان بن أسيد وضعفه ابن عدي ورواه أحمد والطبراني
(Kaburat khiyaanatan an tuhadditsa akhaaka hadiitsan, huwa laka bihi mushaddiqun wa anta lahu bihi kaadzibun).Artinya: "Amat besarlah khianatnya, bahwa engkau berbicara sesuatu pembicaraan dengan saudara engkau, dimana ia membenarkan engkau dan engkau dusta dengan pembicaraan tersebut".(l).

Ibnu Mas'ud berkata: "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Selalulah seorang hamba itu berdusta dan merasa patut berdusta. Sehingga ia dituliskan pada sisi Allah: amat pendusta". (2).

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . lalu ditempat dua orang laki-laki, yang berjual beli se- ekor kambing dan keduanya sumpah-menyumpah. Salah seorang dari ke- duanya berkata: "Demi Allah  Tidak akan aku kurangkan bagimu dari se­kian dan sekian". Lalu yang lain berkata: "Semi Allah! Tidak akan aku tambahkan bagimu diatas sekian dan sekian". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . da­tang pada kambing itu dan sudah dibeli oleh salah seorang dari keduanya. Lalu bersabda: "Diwajibkan salah seorang dari keduanya: dosa dan kafarat sumpah"(3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Dusta itu mengurangkan rezeki". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
Artinya: "Sesungguhnya saudagar-saudagar itu orang-orang yang zalim". Lalu ditanyakan: "Wahai Rasulu'llah! Bukankah Allah telah menghalalkan berjual-beli?". Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Ya, benar! Tetapi mereka itu ber- sumpah, maka mereka berdosa. Dan mereka berkata-kata, lalu mereka berdusta". (4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiga golongan manusia, yang Allah Ta'ala tidak ber­kata-kata dengan mereka pada hari kiamat dan tidak memandang kepada me­reka. Yaitu: orang yang menyebut-nyebut dengan pemberiannya, orang yang melakukan barang dagangannya dengan sumpah palsu dan orang yang meren-

(1)  Diriwayatkan Al-Bukhari, Ath-Thabrani dan lain-lain.
(2)  Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(3)  Diriwayatkan Abul-fatah Al-Azdi dari Nasikh AI-Hadlrami. Dan kata Abu Hatim, yaitu: Abdullah bin Nasikh, bukan Nasikh, tapi anaknya.
(4)  Diriwayatkan Ahmad dan AI-Hakim dan shahih isnadnya.
66
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiga golongan manusia, yang Allah Ta'ala tidak ber­kata-kata dengan mereka pada hari kiamat dan tidak memandang kepada me­reka. Yaitu: orang yang menyebut-nyebut dengan pemberiannya, orang yang melakukan barang dagangannya dengan sumpah palsu dan orang yang merendahkan kain sarungnya". (1).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apabila seorang bersumpah dengan membawa na- ma Allah, lalu dimasukkannya dalam sumpah itu seperti sayap lalar, maka adalah suatu titik pada hatinya sampai hari kiamat".(2). Abu Dzarr berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiga orang, dicintai me­reka oleh Allah Ta'ala. Yaitu: laki-laki yang ada dalam jama'ah teman- temannya. Lalu menegakkan lehernya menghadapi musuh, sehingga ia ter bunuh atau ia dimenangkan oleh Allah dan teman-temannya. Dan laki-laki yang mempunyai tetangga jahat yang menyakitinya. Maka ia bersabar dia­tas kesakitan itu. Sehingga dipisahkan diantara keduanya oleh mati atau pindah. Dan laki-laki, dimana bersama dia ada suatu kaum dalam perja- lanan jauh atau perjalanan malam. Lalu mereka itu meneruskan perjalanan malam itu, sehingga mengherankan mereka, oleh menyintuhkan tanah (maksudnya sangat tertidur). Maka mereka itu turun dari kenderaan. Lalu laki-laki tersebut berpindah tempat untuk mengerjakan shalat, sampai ia membangunkan teman-temannya itu untuk meneruskan perjalanan. Dan ti­ga macam manusia yang dimarahi Allah. Yaitu: pedagang atau penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang sombong dan orang kikir yang su­ka menyebut-nyebut pemberiannya".(3). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم ويل له ويل له
(Wailun lil-ladzii yuhadditsu fa yakdzibu, li yudl-hika bihil-qauma, wailun lahu wailun lahu).
Artinya: "Neraka bagi orang yang berbicara, lalu berdusta, untuk mener­tawakan orang banyak dengan pembicaraannya itu. Neraka baginya - ne­raka baginya". (4).


(1)  Diriwayatkan Muslim dari Abu Dzarr, yang dimaksudkan dengan orang yang merendah­kan kain sarungnya atau lainnya, ialah: sebagai tanda kesombongannya. Dari itu, maka dipandang tidak baik (Peny).
(2)  Dirawikan At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abdullah bin Anis dan shahih isnadnya.
(3)  Dirawikan Ahmad dan An-Nasa-i, dengan isnad baik.
(4) Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dipandangnya hadits hasan.
67

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Aku bermimpi seolah-olah seorang laki-laki datang padaku. Lalu ia berkata kepadaku: "Bangunlah!". Lalu aku bangun ber­sama dia. Tiba-tiba aku bersama dua orang laki-laki. Yang seorang berdiri dan yang lain duduk. Ditangan yang berdiri itu, besi yang bengkok kepa­lanya, yang dimasukkannya kedalam mulut yang duduk. Lalu ditariknya, sehingga sampai keatas bahunya. Kemudian ditariknya lagi, lalu dimasuk­kannya kepinggir yang lain, maka dipanjangkannya. Apabila telah dipanjangkannya, niscaya yang lain itu kembali, sebagai mana yang telah ada ta- di Lalu aku bertanya kepada orang, yang meminta aku berdiri tadi: "Apa-kah ini?". Orang itu lalu menjawab: "Inilah laki-laki pendusta, yang dia- zabkan dalam kuburnya sampai hari kiamat".(l).

Dari Abdullah bin Jarrad, dimana ia berkata: "Aku bertanya kepada Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم ., seraya aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Adakah orang mu'min itu berzina?".

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Kadang-kadang ada yang demikian". Abdullah bin Jarrad bertanya lagi; "Wahai Nabi Allah! Adakah orang mu'­min itu berdusta?". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: 'Tidak!". Kemudian, Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menyambungkannya dengan firman Allah Ta'ala:-
إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بآيات الله
(Innamaa yaftaril-kadzibal-Iadziina laa yu-minuuna bi-aayaatil-laah). Artinya: "Hanyalah orang-orang yang tidak percaya kepada keterangan-ke- terangan Allah itulah yang mengada-adakan kedustaan".S.An-Nahl, ayat 105.

Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Aku mendengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berdo'a, seraya mengucapkan dalam do'anya:-
(Allaahu'mma thahhir qalbii mina'n-nifaaqi wa farjii mina'z-zinaa wa li- saanii mina'l-kadzibi).
Artinya: "Wahai Allah Tuhanku! Sucikanlah hatiku dari nifaq, kemaluanku dari zina dan lidahku dari dusta".(2).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiga golongan manusia, dimana Allah Ta'ala tiada berkata-kata dengan mereka, tiada memandang kepada mereka dan tiada mensucikan mereka. Dan bagi mereka siksaan yang pedih. Yaitu: guru (syaikh) yang berzina, raja yang berdusta dan orang miskin yang sombong".(3).

Abdullah bin 'Amir berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . datang kerumah kami dan aku (waktu itu) kanak-kanak masih kecil. Lalu aku pergi untuk bermain- main. Maka ibuku berkata: "Hai Abdullah! Mari, supaya aku berikan ke- padamu sesuatu!". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apakah yang mau engkau berikan kepadanya?". Ibu itu menjawab: "Tamar!". Lalu Rasulu'­llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya jikalau tidak engkau perbuat, niscaya dituliskan pada engkau suatu kedustaan".(4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Jikalau Allah Ta'ala menganugerahkan kepadaku nikmat menurut bilangan batu ini, niscaya aku bagi-bagikan diantara kamu.
(1)   Dirawikan Al-Bukhari dari Samrah bin Jundub, dalam suatu hadits panjang.
(2)   Dirawikan Al-Khatib dari Abu Sa'id dan isnadnya dla'if.
(3)   Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
(4)  Dirawikan Abu Dawud dan pada isnadnya ada orang yang tidak disebut namanya.
68

Kemudian, kamu tiada akan mendapati aku orang yang kikir, yang berdus­ta dan yang penakut'(l).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda dan beliau waktu itu bersandar: "Tidakkah aku beri- tahukan kepadamu, dosa besar yang terbesar?. Yaitu mempersekutukan Allah dan mendurhakai ibu-bapa". Kemudian beliau duduk, seraya bersab­da: "Ketahuilah: dan berkata dusta". (2).

Ibnu 'Umar berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba Allah yang berbuat dusta dengan suatu kedustaan, maka jauhlah malaikat daripadanya, sejauh perjalanan satu mil, dari karena busuknya a- pa yang didatangkannya".(3).

Anas bin Malik r.a. berkata: "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-Artinya: "Tanggunglah untukku dengan enam perkara, niscaya aku tang- gung untukmu dengan sorga". Mereka (para shahabat) lalu bertanya: "Apakah yang enam perkara itu?". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Apabila seorang kamu berbicara, maka jangan ia berdusta. Apabila ia berjanji, ma­ka jangan ia menyalahinya. Apabila ia diberi kepercayaan (amanah), maka jangan ia berkhianat. Dan tutuplah matamu! Jagalah kemaluanmu! Dan cegahlah tanganmu". (4).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن للشيطان كحلا ولعوقا ونشوقا أما لعوقه فالكذب وأما نشوقه فالغضب وأما كحله فالنوم
(Inna lisy-syaithaani kahalan wa la *uuqan wa nasyuuq. Ammaa la'uuquhu fal-kadzibu wa ammaa nasyuuquhu fal-ghadlabu wa ammaa kahaluhu fan- naumu).Artinya: "Sesungguhnya setan itu mempunyai celak (kahalan), barang yang disendok dalam mulut (la'uuq) dan barang yang dihirup dalam hidung (na­syuuq). Adapun barang yang disendok dalam mulut itu, maka itulah: dusta. Dan barang yang dihirup dalam hidung itu, maka itulah: marah. Adapun celaknya (benda seperti tepung yang dipakai pada mata), ialah: tidur". (5). Pada suatu hari 'Umar r.a. berpidato. Beliau berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .

(1)  Dirawikan Muslim dan hadits ini telah diterangkan dahulu pada bab "Akhlaq Kenabian".
(2) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah
(3) Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu 'Umar dan katanya: hadits hasan gharib.
(4) Dirawikan Al-Hakim dan Al-Kharaithi. Dan kata Al-Hakim: shahih. isnad.
(5) Dirawikan Ath-Thabrani dan Abu Na'im dari A*has dengan sanad dla'if.
69
berdiri ditengah-tengah kami, seperti berdirinya aku ini ditengab-tengah kamu. Lalu beliau bersabda: "Berbuat-baiklah kepada shahabat-shahabat- ku, kemudian kepada mereka yang kemudiannya (para pengikutnya atau tabi'in). Kemudian berkembanglah dusta. Sehingga bersumpahlah seorang laki-laki diatas sumpah dan tidak diminta sumpahnya. Ia naik saksi dan ti­dak diminta kesaksiannya". (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa membicarakan daripadaku sesuatu ha­dits, pada hal ia tahu, bahwa itu dusta, maka adalah ia salah seorang pendusta".(2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . berdusta: "Barangsiapa bersumpah diatas sesuatu sumpah dengan dosa, untuk mengambil harta manusia muslim dengan tidak sebenar- nya, niscaya ia menemui Allah 'Azza wa Jalla dan Allah sangat marah ke­padanya". (3).

Diriwayatkan, dari Nabi صلى الله عليه وسلم ., bahwa: "Nabi صلى الله عليه وسلم . menolak kesaksian se- seorang laki-laki dalam kedustaan yang didustainya".(4). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Diatas setiap perkara itu mungkin menjadi tabiat atau dilalui padanya orang Islam, selain khianat dan dusta".(5). 'A'isyah r,a. berkata: "Tiadalah suatu tingkah-laku yang sangat berat diatas para shahabat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., selain daripada: dusta. Dan adalah Ra- sulullah صلى الله عليه وسلم . melihat pada salah seorang shahabatnya diatas kedustaan. Maka tiada hilang ia dari dada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., sebelum beliau tahu, bahwa shahabatnya itu telah bertobat kepada Allah 'Azza wa Jalla dari ke­dustaan tersebut".(6).

Nabi Musa a.s. berdo'a: "Wahai Tuhanku! Yang manakah dari hambaMu yang terbaik amalannya kepadaMu?". Allah Ta'ala berfirman: "Siapa yang tidak berdusta lidahnya, tidak zalim hatinya dan tidak berzina kemaluan- nya".
 
Lukman berkata kepada anaknya: "Hai anakku! Takutilah berdusta! Ka­rena dusta itu disukai, seperti daging burung pipit. Amat sedikit yang tidak disukai oleh yang berdusta itu sendiri".
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda, memujikan kebenaran (berkata benar):-

(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dan An-Kasa-i dan dishahihkannya, dari 'Umar r.a.
(2)  Dirawikan Muslim dari Samrah bin Judub.
(3)  Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(4) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Musa bin Syaibah, hadits mursal.
(5)  Maksud hadits ini ialah, bahwa dua sifat tersebut (khianat dan dusta) tidaklah menjadi tabiat orang Islam pada asalnya. Tetapi, disebabkan dipengaruhi oleh sesuatu, seperti: keadaan sekeliling, lalu tabiat demikian. Hadits ini dirawikan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain.
(6) Dirawikan Ahmad dari 'A'isyah dan perawi-perawinya itu orang-orang yang dipercayai.
70

الصدق أربع إذا كن فيك لا يضرك ما فاتك من الدنيا صدق الحديث وحفظ الأمانة وحسن خلق وعفة طعمة
(Arba'un idzaa kunna fiika fa laa yadhirraka maa faataka mina'd-dun-ya: shidqul-hadiitsi wa hifdlul-amaanati wa husnu khuluqin wa 'iffatu thu'ma- tin).
Artinya: "Empat perkara apabila ada pada kamu, niscaya tidak mendatang­kan melarat kepadamu, apa yang tidak kamu peroleh dari dunia, yaitu: be­nar pembicaraan, memelihara amanah, bagus tihgkah-laku dan menjaga makanan (dari yang haram atau yang diragukan halalnya)'(l). Abubakar r.a. mengucapkan dalam pidatonya sesudah wafat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  berdiri ditengah-tengah kami pada tahun pertama seperti berdirinya aku ini. Kemudian, beliau menangis dan ber­sabda: "Haruslah kamu benar! Sesungguhnya kebenaran itu bersama ke­bajikan. Dan keduanya itu dalam sorga".(2).

Mu'az berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepadaku: "Aku wasiatkan (nasehatkan) engkau, bertaqwa kepada Allah, benar pembicaraan* menu- naikan amanah, menepati janji, memberi salam dan merendahkan diri"(3). Adapun atsar (Kata-kata shahabat dan orang-orang terkemuka), diantara lain Ali r.a. berkata: "Kesalahan yang terbesar pada sisi Allah, ialah: lidah yang banyak dustanya. Dan penyesalan yang terburuk, ialah: penyesalan pada hari kiamat".

'Umar bin Abdulaziz r.a. berkata: "Tiada pernah aku berdusta dengan su­atu kedustaanpun, semenjak aku dapat mengikat kain sarungku". 'Umar bin Al-Khath-thab r.a. berkata: "Yang paling kami sukai dari kamu, ialah: selama kami tiada melihat namamu yang terbaik. Apabila kami me­lihat kamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: kamu yang ter­baik tingkah-lakunya. Apabila kami mencobaikamu, maka yang paling kami sukai dari kamu, ialah: yang paling benar pembicaraannya dan yang paling besar amanahnya".

Dari Maimun bin Abi Syubaib, yang mengatakan: "Aku duduk menulis su- atu kitab, lalu aku sampai pada suatu huruf. Jikalau aku tuliskan huruf ter­sebut, niscaya aku sudah menghiasi kitab itu. Dan aku sudah berdusta. Ma­ka aku berazam meninggalkannya, lalu aku terpanggil dari pinggir rumah, dengan suara:-
(Yutsabbitul-laahul -ladziina aamanuu bil-qaulits-tsaabiti fil-hayaatiddun-ya wa fii aakhirah).
Artinya: "Allah meneguhkan kedudukan orang-orang yang beriman de­ngan perkataan yang teguh dalam kehidupan dunia ini dan hari akhirat".S.Ibrahim, ayat 27.
(1)
Dirawikan Al-Hakim dan Al-Kharaithi dari Abdullah bin Umar.
(2)
Dirawikan Ibnu Majah dan An-Nata-i.
(3)
Dirawikan Abu Na'im dan hadits ini sudah diterangkan dahulu.

Asy-Sya'bi berkata: "Saya tidak tahu, yang manakah yang lebih jauh da- lamnya dalam neraka: pendusta atau orang kikir". Ibrius-Sammak berkata: "Aku tidak melihat diriku diberi pahala, dengan meninggalkan dusta. Karena aku meninggalkannya karena sombong". Ditanyakan Khalid bin Shubaih: "Adakah dinamakan seseorang itu pen­dusta dengan sekali dusta?". Khalid menjawab: "Ya, benar!". Malik bin Dinar berkata: "Aku membaca pada setengah kitab-kitab yang maksudnya: "Masing-masing orang berkhutbah (khatib) itu, didatangkan khutbahnya menunit amal-pekerjaannya. Jikalau ia benar, niscaya benarlah dia. Dan jikalau ia dusta, maka kedua bibiraya digunting dengan gunting a- pi neraka. Setiap kali kedua bibir itu digunting, lalu tumbuh kembali". Malik bin Dinar berkata: "Benar dan dusta itu keduanya berperang dalam hati, sehingga dikeluarkan oleh salah satu daripada keduanya akan teman- nya".

'Umar bin Abdulaziz berbicara dengan Al-Walid bin Abdulmalik tentang sesuatu.
Lalu Al-Walid berkata kepada 'Umar: "Engkau dusta!". Lalu 'Umar men­jawab: "Tidak pernah aku berdusta, semenjak aku tahu, bahwa dusta itu memburukkan orang yang berdusta".


Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...